Bisnisia.id | Banda Aceh – Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Kanwil DJBC) Aceh, Safuadi, mengungkapkan bahwa pada tahun 2024, sebesar Rp51 triliun dana dari pusat telah ditransfer ke Aceh. Namun, jumlah ini tidak seimbang dengan kontribusi ekonomi lokal yang keluar dari Aceh, yang mencapai Rp43 triliun.
Hal tersebut disampaikan Safuadi dalam diskusi Aceh Economic Forum (AEF), Kamis (16/1/2025), di Banda Aceh. Ia menekankan pentingnya transformasi sektor primer menjadi manufaktur untuk meningkatkan nilai tambah produk lokal.
Menurut Safuadi, Aceh dapat bercermin dari strategi ekonomi yang diterapkan oleh Vietnam. Negara tersebut berhasil memanfaatkan potensi sektor primernya dengan mengintegrasikan elemen manufaktur. Langkah ini memungkinkan Vietnam menghasilkan pendapatan hingga Rp53,6 triliun dari sektor tersebut, sekaligus menjaga kualitas dan konsistensi produk.
“Meskipun insentif fiskal penting untuk menarik investor, faktor utama yang menentukan pilihan investasi adalah kepastian hukum, kenyamanan, dan stabilitas keamanan. Inilah alasan mengapa banyak perusahaan global, termasuk raksasa teknologi, lebih memilih Vietnam dibandingkan Indonesia,” ujar Safuadi.
Baca juga: Tahun 2025 Aceh Terima Dana Otsus Rp 4,46 Triliun
Safuadi menjelaskan bahwa Aceh masih sangat bergantung pada sektor primer seperti pertanian dan perikanan. Meski memiliki potensi besar, sektor ini belum memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan ekspor karena belum adanya industrialisasi.
“Kalau kita melihat potret Aceh, sebagian besar kegiatan ekonomi masih bersifat tradisional, mengandalkan sumber daya alam tanpa pengolahan lebih lanjut. Akibatnya, kualitas produk sulit dipertahankan, dan harga cenderung fluktuatif. Berbeda dengan Vietnam yang sudah mampu mengintegrasikan sektor manufaktur ke dalam pertanian dan perikanannya,” jelas Safuadi.
Ia juga menyoroti bahwa dana yang masuk ke Aceh lebih banyak digunakan untuk konsumsi daripada investasi produktif. “Jika kita mampu meningkatkan kontribusi barang dan jasa hingga 10% dari PDB, Aceh bisa lebih mandiri secara ekonomi,” tambahnya.
Vietnam, yang pada era 1970-an sempat dilanda perang, kini tumbuh dengan pertumbuhan ekonomi di atas 7%. Safuadi menekankan bahwa Aceh harus meniru langkah Vietnam dalam merancang kebijakan ekonomi yang terintegrasi. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah pengembangan kawasan industri yang mendukung manufaktur berbasis sektor primer.
“Kita membutuhkan kawasan industri seperti yang dimiliki Vietnam. Dukungan insentif fiskal, infrastruktur yang memadai, dan kebijakan investasi yang jelas merupakan kunci untuk menarik investasi,” ungkapnya.