Bisnisia.id | Banda Aceh – Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Banda Aceh, Aliasuddin, menyoroti persoalan struktural hingga rendahnya minat generasi muda terhadap sektor pertanian, yang turut berdampak pada pengembangan ekonomi daerah dalam diskusi Aceh Economic Forum yang digelar di ballroom The Pade Hotel, Kamis (16/1/2025).
Ia mengapresiasi kontribusi pihak-pihak terkait dalam mendukung pembangunan Aceh, khususnya sektor pertanian. Namun, ia menegaskan bahwa tantangan di sektor ini cukup berat, terutama terkait sumber daya manusia (SDM) dan teknologi.
Minimnya Partisipasi Generasi Muda di Sektor Pertanian
“SDM menjadi salah satu persoalan utama. Sebanyak 80 persen tenaga kerja di sektor pertanian diisi oleh kelompok usia lanjut. Sangat sedikit anak muda yang tertarik menjadi petani,” ujar Aliasuddin.
Menurutnya, untuk menarik minat generasi muda, sektor pertanian harus diintegrasikan dengan teknologi modern, baik pada tahap produksi maupun pascapanen.
“Teknologi pertanian sangat penting untuk meningkatkan produktivitas dan daya tarik. Jika anak muda dilibatkan dengan menggunakan teknologi, maka akan ada semangat baru di sektor ini,” tambahnya.
Kendala Birokrasi dan Kurangnya Investasi
Selain masalah SDM, Aliasuddin menyoroti lemahnya akses pasar dan minimnya investasi di Aceh. Berdasarkan data, Aceh menempati posisi ke-26 dari 38 provinsi di Indonesia dalam hal daya tarik investasi.
“Banyak pengusaha enggan berinvestasi di Aceh karena berbagai kendala, seperti birokrasi perizinan yang sulit dan biaya operasional yang tinggi. Hal ini perlu segera diubah agar investasi bisa masuk dan mendorong pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Aliasuddin mencontohkan kawasan industri Ladong sebagai salah satu peluang besar yang belum dikelola secara optimal. Menurutnya, biaya tinggi dan kurangnya insentif membuat kawasan tersebut tidak menarik bagi investor.
Hal lain yang menjadi kendala terbesar dalam pengembangan ekonomi Aceh adalah minimnya inisiatif lokal.
“Ketika identitas produk lokal tidak tinggi, pendapatan masyarakat juga menjadi rendah. Akibatnya, minat masyarakat untuk bekerja di sektor ini pun menurun,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa inisiatif harus datang dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha.
Identitas Produk Lokal dan Diversifikasi Komoditas
Dalam diskusi tersebut, Aliasuddin juga menekankan pentingnya diversifikasi hasil pertanian untuk mengurangi ketergantungan pada komoditas tertentu, seperti sawit. Ia menyoroti bahwa lahan pertanian produktif sering kali dikonversi menjadi perkebunan sawit, meskipun tidak semua wilayah cocok untuk tanaman ini.
“Diversifikasi sangat penting. Jangan hanya fokus pada satu komoditas. Produk turunan sawit saja bisa mencapai 200 jenis, namun di Aceh pengelolaannya belum optimal,” katanya.
Aliasuddin menyoroti perlunya dukungan kebijakan pemerintah untuk menjamin keberlanjutan sektor pertanian. Ia memberikan contoh bagaimana Korea Selatan memberikan jaminan asuransi terhadap hasil produksi petani, sehingga mereka tetap termotivasi untuk meningkatkan produksi meskipun menghadapi risiko pasar.
“Kita perlu meniru kebijakan seperti itu. Tanpa adanya jaminan, petani akan terus berada dalam ketidakpastian, terutama saat harga komoditas jatuh karena oversupply,” ungkapnya.