Bisnisia.id | Banda Aceh – Kawasan Tanpa Rokok (KTR) kembali mendapat perhatian serius setelah DPRK Banda Aceh yang baru dilantik menerima audiensi dari perwakilan masyarakat yang ingin melihat kota tersebut bersih dan sehat. Winny Dian Safitri, Project Manager TC Aceh, mengungkapkan harapannya agar KTR bisa diimplementasikan lebih efektif di seluruh Banda Aceh.
“Alhamdulillah, hari ini kami telah mengadakan audiensi dengan DPRK yang baru terpilih, untuk menyampaikan berbagai program yang telah dilaksanakan dan meminta komitmen mereka dalam mendukung penegakan KTR. Kami berharap sinergi antara legislatif, eksekutif, dan elemen masyarakat dapat membangun kawasan bebas asap rokok secara menyeluruh,” ujar Winny, Jumat (1/10/2024).
DPRK sebagai lembaga legislatif diharapkan bisa menyelaraskan upaya mereka dengan eksekutif serta organisasi masyarakat sipil lainnya, seperti The Aceh Institute, yang telah aktif mendorong implementasi kebijakan ini. Karena DPRK merupakan wakil rakyat yang bisa menyuarakan KTR.
“Kami hanya mendorong sebagai CSO, mendorong agar KTR ini benar-benar dapat diimplementasikan dengan baik di Banda Aceh. KTR sangat diperlukan dari segi penegakan-penegakan untuk qanun-qanun yang ada di kota Banda Aceh,” ungkap Winny.
Qanun KTR di Banda Aceh sebenarnya sudah disahkan sejak 2016, namun penegakan dan implementasinya masih membutuhkan upaya yang konsisten. Menurut Winny, setiap lini harus mengetahui dan membantu dalam mensosialisasikan Qanun ini. Sehingga kota Banda Aceh bisa menjadi kota yang bersih, sehat dan bebas dari asap rokok.
“Kami juga menyoroti pentingnya penegakan sanksi bagi pelanggar KTR, khususnya di ruang-ruang publik yang sering kali masih dianggap hanya mencakup area tertutup,” jelas Winny.
Menurutnya, definisi ruang publik harus lebih luas, mencakup area terbuka yang sering digunakan masyarakat. Pihaknya meminta 2 poin utama dalam penegakan Qanun KTR kepada DPRK.
“Yang pertama terkait penegakan Qanun KTR terutama keseriusan DPRK untuk mendukung impkementasi Qanun KTR. Poin yang kedua yaitu bisa membantu kami dalam mengadvokasi di semua lini, karena DPRK memiliki tupoksi sebagai wakil rakyat,” ungkapnya.
Selain itu, ada pula wacana untuk merevisi Qanun KTR agar lebih relevan dengan konteks sosial dan budaya lokal. Beberapa anggota DPRK mengungkapkan bahwa masyarakat banyak yang belum memahami sanksi yang ada dalam Qanun ini.
“Kami mendorong agar DPRK membantu dalam mengadvokasi serta mengedukasi masyarakat tentang aturan dan sanksi terkait pelanggaran KTR,” tambah Winny.
Dalam audiensi, Project Manager TC Aceh juga menyampaikan perlunya dukungan media sebagai ujung tombak kampanye KTR di Banda Aceh.
“Kami sangat mengharapkan bantuan teman-teman media dalam menyebarluaskan informasi tentang KTR. Media memiliki peran penting dalam membangun kesadaran masyarakat agar aturan ini diterima dan dijalankan bersama,” kata Winny.
Sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesadaran, Aceh Institute rutin melakukan evaluasi bulanan untuk memantau tingkat kepatuhan KTR di tempat-tempat publik.
Sejak Agustus 2024 lalu, Aceh Institute sudah melakukan monev di 145 titik, hasilnya adalah sebanyak 26 area patuh dan 119 area tidak patuh.
Nadia Ulfah, selaku Technical Coordinator TC Aceh menyampaikan, dari hasil monitoring hasilnya menunjukkan bahwa 80% tempat yang dievaluasi masih belum mematuhi.
Banyak di antaranya tidak memiliki tanda larangan merokok (sticker), sementara di beberapa tempat justru terdapat asbak atau sisa-sisa rokok.
“Saat kami mengadakan monitoring, hanya sekitar 20% lokasi yang benar-benar patuh dan bebas dari rokok. Dari 50 tempat hanya 13 tempat yang mematuhi. Ini menunjukkan perlunya penguatan sosialisasi dan penegakan sanksi,” terang Winny.
Selain kendala di lapangan, Aceh Institute juga menghadapi masalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan dana untuk pengawasan berkelanjutan. Hingga saat ini, sebagian besar upaya sosialisasi dan advokasi KTR belum didukung anggaran dari pemerintah daerah.
“Kami berharap di masa mendatang ada dukungan dana dari pemerintah agar upaya penegakan KTR bisa lebih maksimal dan semua pihak punya tanggung jawab terhadap implementasi Qanun KTR,” ujar Winny.
Salah satu poin penting dalam audiensi adalah usulan untuk merevisi Qanun KTR yang disahkan pada tahun 2016. Masyarakat dan pemerintah menyadari bahwa aturan ini perlu disesuaikan dengan perkembangan kondisi sosial serta munculnya fenomena baru, seperti penggunaan rokok elektrik yang tidak diatur dalam peraturan awal.
“Ada kebutuhan untuk memperjelas aturan tentang produk tembakau lainnya yang mungkin tidak tercakup dalam qanun sebelumnya,” ungkap Winny.
Selain dukungan sosialisasi, Aceh Institute juga mengusulkan aplikasi pelaporan bagi warga untuk melaporkan pelanggaran KTR di sekitarnya.
Winny menjelaskan bahwa aplikasi ini memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam penegakan KTR dengan melaporkan aktivitas merokok di ruang publik langsung ke pemerintah, yang kemudian akan ditindaklanjuti oleh Satpol PP.
Menurutnya, sistem pelaporan ini bertujuan untuk mempercepat tindak lanjut pelanggaran dan memperkuat peran masyarakat dalam menjaga lingkungan yang sehat.
Dengan adanya komitmen dari DPRK, Winny dan tim Aceh Institute optimis bahwa Banda Aceh bisa menjadi kota yang lebih sehat dan bebas asap rokok.
Namun, ia menekankan bahwa perlu ada kerjasama lintas sektor, termasuk dari masyarakat, DPRK, pemerintah, serta pelaku usaha untuk mencapai visi tersebut.
“Implementasi KTR ini bukan hanya demi kesehatan kita sendiri, tapi juga demi generasi muda yang perlu tumbuh di lingkungan yang sehat,” tutupnya.