Bisnisia.id | Banda Aceh – Sebanyak 37 perusahaan sawit di Aceh hingga kini belum mengantongi sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Kondisi ini, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, menjadi bukti lemahnya tata kelola perusahaan sawit di wilayah tersebut, yang berdampak serius pada kerusakan lingkungan dan pengabaian hak-hak sosial masyarakat.
Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Solihin, menegaskan bahwa ISPO dirancang untuk menjawab tantangan global terkait pengelolaan perkebunan sawit yang berkelanjutan dan bertanggung jawab, baik dari aspek sosial, lingkungan hidup, maupun ekonomi.
“Kalau manajemen perusahaan itu waras dan sehat, dia pasti akan memenuhi aspek itu (ISPO),” ujar Ahmad Solihin kepada Bisnisia.id, Selasa (7/1/2024).
Menurut WALHI, perusahaan-perusahaan yang tidak bersertifikasi ISPO cenderung melakukan pelanggaran lingkungan. Salah satu contoh nyata adalah pengabaian terhadap kawasan dengan nilai konservasi tinggi (High Conservation Value/HCV), seperti sempadan sungai.
“Wilayah yang mempunyai nilai konservasi tinggi, seperti sempadan sungai, itu sebenarnya harus dilindungi oleh konsesi HGU, walaupun itu hak mereka. Tapi mereka bertanggung jawab untuk melindungi wilayah sempadan sungai sejauh 100 meter. Nyatanya, hampir tidak ada perusahaan sawit yang menyisakan 100 meter itu untuk tidak ditanam,” jelas Ahmad.
Selain itu, kawasan yang menjadi habitat satwa liar, seperti gajah dan orangutan, juga sering kali tidak dilindungi. “Wilayah-wilayah yang dilintasi satwa liar juga harus tetap dilindungi. Tapi apakah ada perusahaan yang melakukan itu? Tidak ada. Semua mereka hajar habis,” tambahnya.
Ahmad juga menyoroti persoalan sosial yang muncul akibat perusahaan sawit yang enggan menerapkan ISPO. Banyak perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat sekitar, terutama terkait penggunaan lahan untuk program plasma.
“Plasma itu seharusnya dari konsesi perusahaan. Misalnya, perusahaan itu punya konsesi 5.000 hektare, maka mereka punya kewajiban 20 persen untuk kebun plasma. Tapi praktiknya, sering kali tanah warga yang digunakan, kemudian dibantu pembibitan dan proses penanaman, itu yang diklaim sebagai plasma. Padahal itu bukan dari konsesi perusahaan,” katanya.
Ahmad juga menyebutkan bahwa hak-hak pekerja kerap diabaikan, seperti pembayaran upah yang tidak sesuai dan adanya praktik mempekerjakan anak. Hal ini menjadi indikator lemahnya komitmen perusahaan terhadap keberlanjutan sosial.
WALHI menilai, lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah menjadi salah satu faktor utama mengapa banyak perusahaan sawit di Aceh tidak memenuhi standar ISPO.
“Keseriusan pemerintah baru terasa dalam dua atau tiga tahun terakhir. Itu pun masih sebatas dokumen dan wacana. Penegakan hukum terhadap perusahaan yang tidak memiliki ISPO masih sangat lemah,” tegas Ahmad.
Berdasarkan surat dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Nomor B-491/KB.410/E/06/2024, perusahaan yang belum memiliki ISPO dapat dicabut izinnya. Namun, hingga kini, belum ada tindakan tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar.
Ahmad menegaskan bahwa ISPO merupakan indikator penting untuk memastikan tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan. Selain berdampak pada keberlanjutan lingkungan, ISPO juga menjadi kunci bagi keberlanjutan ekonomi perusahaan.
“Kalau mereka dianggap tidak baik tata kelolanya, utamanya investor juga akan enggan melakukan investasi di perusahaan tersebut. Tanpa ISPO, tidak ada jaminan bahwa perusahaan itu berkelanjutan dan bertanggung jawab dari sisi perlindungan lingkungan hidup,” pungkas Ahmad.
WALHI juga mendesak konsumen besar, seperti Nestlé dan Danone, untuk berhenti membeli produk sawit dari perusahaan yang belum memiliki ISPO.
“Konsumen harus memastikan hanya membeli produk dari perusahaan yang bersertifikat ISPO. Ini akan menjadi dorongan besar bagi perusahaan untuk memenuhi standar keberlanjutan,” tutupnya.