BISNISIA.ID | Banda Aceh – Bank Indonesia Provinsi Aceh kembali menunjukkan komitmennya dalam mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan membahas peluang dan tantangan ekonomi hijau sebagai sumber pertumbuhan baru di Aceh. Hal ini disampaikan dalam forum bergengsi Aceh Economic Forum (AEF), yang diselenggarakan di Aula Bank Indonesia (BI) Aceh pada Kamis, 26 September 2024.
Acara ini dihadiri oleh berbagai pihak dari sektor pemerintahan, akademisi, pelaku usaha, serta para pemangku kepentingan lainnya.
Kepala BI Provinsi Aceh, Rony Widijarto P, dalam sambutannya menegaskan pentingnya topik ini dalam upaya mendorong perekonomian Aceh menuju arah yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Menurut Rony, peluang ekonomi hijau di Aceh sangatlah besar, namun tantangannya juga tidak kalah signifikan.
“Kegiatan ini sangat penting dalam melihat bagaimana perekonomian dan pembangunan di Aceh bisa memanfaatkan ekonomi hijau sebagai motor penggerak baru,” ujarnya.
Dalam pemaparannya, Rony juga mengungkapkan bahwa perekonomian Aceh saat ini berada dalam kondisi yang cukup baik. Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada triwulan kedua 2024, ekonomi Aceh tumbuh sebesar 4,44 persen.
Meskipun demikian, Rony mengingatkan bahwa Aceh masih menghadapi tantangan dalam hal inflasi. Pada Juni 2024, inflasi Aceh tercatat sebesar 3,6 persen, namun berhasil turun menjadi 2,31 persen pada Agustus.
Rony juga menyoroti dampak positif yang dibawa oleh pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Aceh. Menurutnya, selama perhelatan PON, ekonomi Aceh mengalami lonjakan transaksi yang signifikan.
“Saat PON, kita melihat pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan. Transaksi lancar, inflasi tetap stabil di angka 2,5 persen,” jelasnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat peningkatan aktivitas ekonomi selama PON, tekanan inflasi tetap berhasil dijaga dengan baik.
Namun, Rony juga menyinggung bahwa pertumbuhan ekonomi Aceh masih perlu ditingkatkan, terutama jika dibandingkan dengan Provinsi Sumatera Utara (Sumut), yang pada periode yang sama sudah mencapai pertumbuhan sebesar 4 persen.
“Meskipun pertumbuhan ekonomi Aceh cukup baik, namun kita perlu belajar dari Sumut yang pertumbuhannya sudah lebih tinggi,” tambahnya.
Lebih lanjut, Rony menyoroti pentingnya sektor ekonomi hijau dalam meningkatkan pertumbuhan berkelanjutan di Aceh.
Menurutnya, Aceh memiliki potensi besar dalam sektor-sektor yang mendukung ekonomi hijau, seperti energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, dan pengelolaan sumber daya alam yang lebih efisien.
“Ekonomi hijau ini mampu mendorong pertumbuhan berkelanjutan jangka panjang, membuka lapangan kerja baru, menjaga keanekaragaman hayati Aceh, dan meningkatkan kualitas ekosistem,” jelas Rony.
Selain itu, ekonomi hijau juga dianggap sebagai solusi untuk memitigasi dampak perubahan iklim yang semakin nyata.
Dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di Aceh secara bijaksana dan berkelanjutan, Aceh dapat menjadi salah satu contoh provinsi yang sukses mengintegrasikan prinsip-prinsip ekonomi hijau dalam pembangunan regionalnya.
Rony juga menekankan peran penting dari konsumsi rumah tangga yang telah tumbuh positif sebesar 5,5 persen, serta bagaimana ekonomi hijau bisa dioptimalkan melalui penggunaan teknologi digital.
BI Aceh berkomitmen untuk terus mendorong pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), terutama generasi milenial dan Gen Z, agar lebih fasih dalam penggunaan platform digital.
“Dengan adopsi teknologi yang baik, pelaku UMKM akan mampu memanfaatkan peluang ekonomi hijau ini dan berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi Aceh,” ungkapnya.
Forum ini juga menghadirkan beberapa narasumber penting yang memberikan pandangan mereka terkait ekonomi hijau.
Salah satunya adalah Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Priyatno Rohmattullah, yang membahas rencana pembangunan Indonesia berbasis ekonomi hijau untuk pertumbuhan yang berkelanjutan.
Priyatno menekankan bahwa pembangunan berbasis ekonomi hijau bukan hanya sebuah pilihan, melainkan keharusan di tengah tantangan global seperti perubahan iklim dan penurunan kualitas lingkungan.
Selain itu, hadir pula Arnita Rishanty dari Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia, yang memberikan penjelasan tentang pentingnya kebijakan makroprudensial dalam mendukung stabilitas keuangan di tengah transisi menuju ekonomi hijau.
Dr. Rustam Effendi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Universitas Syiah Kuala (USK), turut membahas tentang peran pendidikan dalam mempersiapkan generasi muda Aceh menghadapi tantangan ekonomi hijau di masa depan.
Dengan adanya diskusi intensif dalam forum ini, Bank Indonesia Aceh berharap agar pelaku ekonomi dan masyarakat Aceh dapat melihat peluang besar yang ditawarkan oleh ekonomi hijau.
Selain itu, BI juga berharap pemerintah daerah dan stakeholder lainnya dapat bekerja sama dalam merumuskan kebijakan yang mendukung transisi ini.
“Kita harus bergerak bersama untuk memanfaatkan potensi ekonomi hijau ini demi pertumbuhan ekonomi Aceh yang berkelanjutan,” pungkasnya.
Aceh Economic Forum 2024 menjadi bukti bahwa Aceh memiliki potensi besar untuk berkembang melalui ekonomi hijau.
Jika tantangan-tantangan yang ada dapat diatasi dengan baik, Aceh bukan hanya akan menjadi daerah yang tangguh secara ekonomi, tetapi juga berkontribusi dalam menjaga keseimbangan lingkungan untuk generasi mendatang.