Bisnisia.id | Banda Aceh – Proyek Carbon Capture and Storage (CCS) Arun di Aceh diproyeksikan menjadi pusat penyimpanan karbon terbesar di ASEAN, dengan kapasitas penyimpanan lebih dari 1.000 juta metrik ton CO₂.
Selain sebagai solusi bagi emisi karbon domestik, CCS Arun juga berpotensi menjadi tujuan penyimpanan karbon bagi negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Direktur Pengembangan Bisnis PT Pembangunan Aceh (PEMA), Faisal Ilyas, menjelaskan bahwa CCS Arun memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan lokasi penyimpanan karbon lainnya di Indonesia maupun Asia. Salah satu faktor utamanya adalah kondisi geologis yang stabil, terletak di luar jalur gempa utama, sehingga meminimalkan risiko kebocoran CO₂.
“Salah satu tantangan utama dalam proyek CCS adalah risiko kebocoran karbon akibat aktivitas seismik. Namun, CCS Arun berada di lokasi yang aman dari patahan gempa, sehingga sangat ideal untuk penyimpanan jangka panjang,” jelas Faisal kepada Bisnisia.id, Sabtu (8/2/2025).

Keunggulan lain dari proyek ini adalah infrastruktur yang telah tersedia. Sejak 1975, Arun telah menjadi salah satu ladang gas terbesar di Indonesia yang sebelumnya dikelola oleh perussahaan global raksasa, ExxonMobil. Infrastruktur lama yang masih dapat dimanfaatkan membuat biaya pengembangan CCS lebih rendah dibandingkan proyek serupa di lokasi lain.
“CCS Arun ini sangat techbook, artinya secara teknis sudah memenuhi standar tinggi dalam hal keamanan dan efektivitas penyimpanan karbon. Selain itu, infrastruktur yang ditinggalkan ExxonMobil masih sangat proper, sehingga investasi infrastrukturnya tidak semahal CCS lain di Indonesia,” tambah Faisal.
Selain berkontribusi pada pengurangan emisi karbon, proyek ini juga membawa dampak ekonomi yang signifikan bagi Aceh dan Indonesia. Seiring dengan komitmen Indonesia mencapai Net Zero Emission 2060, CCS Arun diproyeksikan menciptakan ribuan lapangan kerja baru, mendukung industri Blue Hydrogen, Blue Ammonia, dan Premium Natural Gas, serta membuka peluang besar dalam perdagangan karbon global.
Dari sisi ekonomi, biaya penyimpanan karbon di Arun juga lebih kompetitif dibandingkan proyek CCS lain di dunia. Di Norwegia, misalnya, proyek Norwegian Light CCS menyimpan karbon di laut dengan biaya sekitar 110–115 USD per metrik ton. Sementara itu, CCS Arun hanya memerlukan biaya sekitar 20–50 USD per metrik ton, menjadikannya lebih menarik bagi investor global.
Keunggulan geografis Aceh yang dekat dengan negara-negara penghasil emisi karbon besar seperti Singapura dan Malaysia menjadikan CCS Arun sebagai pilihan utama bagi industri yang ingin menurunkan jejak karbonnya.
Beberapa pabrik di Singapura sudah menunjukkan minat untuk menyimpan karbon mereka di Arun, dengan potensi pengiriman karbon melalui jalur pipa atau kapal tanker.
“Proyek ini bukan hanya tentang penyimpanan karbon, tetapi juga tentang membangun ekosistem industri hijau. Dengan CCS Arun, Aceh bisa menjadi pusat penyimpanan karbon Asia, mendukung dekarbonisasi industri besar di kawasan,” kata Faisal.
CCS Arun dijadwalkan terimplementasi penuh antara tahun 2027-2028, proyek diharapkan menjadi percontohan dalam pengembangan teknologi penyimpanan karbon di Indonesia, sekaligus menempatkan Aceh sebagai pusat energi hijau yang kompetitif di tingkat global.