Bisniskita.id | Banda Aceh – Bank Indonesia menilai Provinsi Aceh perlu melakukan hilirisasi sektor pertanian dan pariwisata untuk memberi nilai tambah ekonomi. Hal itu disebut akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi angka kemiskinan.
“Kami melihat saat ini ekonomi Aceh masih dapat ditingkatkan karena banyak sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru,” kata Kepala Bank Indonesia (BI) Kantor Perwakilan Aceh Rony Widijarto.
Bank Indonesia Provinsi Aceh mencatat secara keseluruhan luas panen padi di Sumatra terus menurun, termasuk di Aceh. Kendati demikian, mekanisasi dan produktivitas Aceh masih yang terbaik dibandingkan provinsi lain se-Sumatra.
Bahkan, pengembangan sektor pertanian dapat ditempuh melalui pertanian indeks pertanaman (IP) 400 atau pola tanam empat kali dalam setahun untuk meningkatkan produktivitas, serta pengembangan Rice Miling Unit (RMU) menjadi skala lebih besar.
Kemudian, kata dia, selain mendorong hilirisasi pertanian, sektor lain yang juga menjanjikan ialah pariwisata. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan tingkat penghunian kamar hotel di Tanah Rencong itu pascapandemi masih di bawah kinerja pra-pandemi.
Rony menilai Aceh memiliki potensi wisata yang sangat baik. Hal itu dibuktikan dengan beberapa penghargaan wisata yang diraih Aceh dalam dua tahun terakhir. Sebab itu, diperlukan adanya pengembangan aksesibilitas, atraksi, amenitas, serta pelaku dan promosi guna mendorong kinerja pariwisata di Aceh.
“Makanya kita coba angkat hilirisasi, khususnya di pertanian dan pariwisata, karena itu saling menunjang,” ujarnya.
Menurut Rony, tujuan dilakukan hilirisasi untuk menghasilkan produk-produk turunan dari sektor pertanian maupun pariwisata yang bernilai tambah.
Dengan begitu, maka secara otomatis juga akan menciptakan pemerataan sumber pendapatan, yang tentunya mendorong pada perbaikan angka kemiskinan di Aceh.
Memang di sisi, lanjut dia, tetap harus ada industri. Karena industri yang akan meningkatkan nilai tambah tersebut.
“Karena saat ini (di Aceh) masih banyak produk sektor primer, (hasil) pertanian yang (dijual) masih mentah, padahal itu nilai tambah sangat tinggi. Contoh bagaimana kita menjual kelapa sawit padahal kepala sawit akan banyak turunan dengan nilai tambah tinggi,” ujarnya.