ExxonMobil, salah satu perusahaan energi terbesar di dunia, memiliki sejarah panjang yang penuh dinamika di Aceh. Kehadiran perusahaan ini sejak 1970-an di Blok Arun, Aceh Utara, membawa dampak besar bagi perekonomian lokal dan nasional.
Namun, di balik kontribusi ekonomi yang signifikan, ExxonMobil juga menghadapi tuduhan serius terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi selama masa konflik bersenjata di wilayah tersebut.
Tuduhan ini terus membayangi sejarah panjang hubungan antara ExxonMobil dan masyarakat Aceh.
ExxonMobil pertama kali memasuki Aceh pada tahun 1971 setelah menemukan cadangan gas alam besar di Arun, Aceh Utara. Ladang gas ini kemudian menjadi salah satu sumber daya alam terbesar yang pernah ada, menjadikan Aceh sebagai pusat penghasil gas alam dunia.
ExxonMobil dan anak perusahaannya mengelola proyek besar di Blok Arun yang menjadi pabrik gas alam cair (LNG) terbesar dan paling produktif di Indonesia, dengan gas dari wilayah ini diekspor ke berbagai negara.
Produk gas alam cair dari Arun menjadi salah satu komoditas ekspor utama Indonesia, yang secara signifikan berkontribusi terhadap perekonomian negara.
Namun, meskipun memberi kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia, keberadaan ExxonMobil di Aceh justru memicu ketidakpuasan di kalangan masyarakat lokal.
Pemerintah Indonesia dan ExxonMobil menguasai sebagian besar keuntungan yang dihasilkan, sementara masyarakat Aceh hanya menerima manfaat yang terbatas. Ketimpangan ini menjadi salah satu pemicu lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 1976, yang menuntut pembagian kekayaan sumber daya alam Aceh secara lebih adil.
Dalam laporan yang disusun oleh International Center for Transitional Justice (ICTJ), disebutkan bahwa ketidakadilan ini menjadi salah satu akar konflik yang berlarut-larut antara pemerintah Indonesia dan GAM.
“Salah satu tuntutan utama GAM adalah agar rakyat Aceh mendapatkan bagian yang lebih besar dari hasil eksploitasi sumber daya alam, terutama gas alam yang dikelola oleh ExxonMobil,” tulis laporan tersebut.
Keberadaan ExxonMobil kemudian menjadi simbol ketimpangan ekonomi di Aceh, yang semakin memicu ketegangan dan perlawanan terhadap pemerintah pusat.
Selain ketidakadilan ekonomi, hubungan ExxonMobil dengan pemerintah Indonesia juga semakin dekat dengan terjadinya militarisasi yang meningkat di Aceh. Sejak awal, ExxonMobil sudah menjalin hubungan dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengamankan fasilitas operasional mereka.
Menurut laporan yang juga disusun oleh HRWG, Imparsial dan KontraS, dalam kontrak kerja awal, ExxonMobil setuju untuk mempekerjakan personel TNI sebagai bagian dari sistem pengamanan di sekitar Blok Arun.
Seiring berjalannya waktu, ketergantungan ExxonMobil terhadap pengamanan militer semakin besar, terutama ketika situasi keamanan di Aceh semakin memburuk akibat meningkatnya konflik antara GAM dan TNI.
Laporan ICTJ mengungkapkan bahwa pada tahun 2000, ExxonMobil membayar TNI hingga 500 ribu dolar AS per bulan untuk menjaga keamanan fasilitas gas alamnya. Perusahaan ini juga memberikan pelatihan dan peralatan kepada pasukan militer yang mereka pekerjakan.
Laporan tersebut menyatakan bahwa meskipun ada pengetahuan tentang pelanggaran HAM yang terjadi di sekitar fasilitas ExxonMobil, perusahaan ini terus mengandalkan TNI untuk pengamanan dan tidak melakukan tindakan yang berarti untuk menghentikan pelanggaran tersebut.
Pasukan yang dikerahkan ExxonMobil diduga terlibat dalam pelanggaran HAM yang serius terhadap warga sipil. Salah satu insiden yang tercatat dalam laporan adalah penyiksaan terhadap warga sipil yang dicurigai mendukung GAM.
“Seorang pria yang diduga simpatisan GAM dipukuli dan diancam dibunuh, bahkan punggungnya diukir dengan huruf ‘GAM’ menggunakan pisau,” tulis laporan tersebut.
Selain itu, laporan juga menyebutkan bahwa alat berat yang disediakan oleh ExxonMobil digunakan untuk menggali kuburan massal yang diduga merupakan akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh pasukan keamanan yang dipekerjakan perusahaan.
Laporan ICTJ menyimpulkan bahwa ExxonMobil seharusnya menyadari risiko besar yang ditimbulkan oleh keterlibatan militer Indonesia dalam pengamanan fasilitas mereka, dan meskipun kekerasan dan pelanggaran HAM diketahui terjadi, perusahaan tidak mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menghentikan atau mencegahnya.
Pada tahun 2001, gugatan diajukan oleh International Labor Rights Fund (ILRF) atas nama 11 anggota keluarga korban pelanggaran HAM yang melibatkan ExxonMobil dan pasukan TNI. Meskipun gugatan terkait pelanggaran HAM di bawah Alien Tort Claims Act (ATCA) akhirnya dibatalkan karena alasan politis, gugatan kerugian perdata tetap dilanjutkan.
Laporan tersebut menegaskan bahwa meskipun ada upaya-upaya hukum untuk menghindari tanggung jawab, kasus ini tetap mencerminkan perjuangan masyarakat Aceh untuk mendapatkan keadilan atas penderitaan yang mereka alami selama bertahun-tahun akibat ketergantungan ExxonMobil pada TNI dan dampak dari eksploitasi sumber daya alam yang tidak adil.
Projectmultatuli juga pernah melakukan liputan mendalam terhadap dugaan keterlibatan ExxonMobil dalam pelanggaran HAM di Aceh. Dalam laporan yang diturunkan pada 9 Desember 2022, Projectmultatuli menemui para korban kekerasan dan mendokumentasi lokasi-lokasi sekitar ladang migas yang menjadi tempat penyiksaan.
Kembalinya ExxonMobil ke Aceh
Perusahaan ini tengah melakukan survei seismik untuk menilai potensi migas di kawasan lepas pantai Aceh, yang diharapkan dapat menghidupkan kembali industri migas di wilayah tersebut.
Kepala Divisi Formalitas, Hubungan Eksternal, dan Sekuriti KKKS Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), Radhi Darmansyah, menyatakan bahwa kembalinya ExxonMobil merupakan perkembangan positif bagi industri migas di Aceh.
“Saat ini West Andaman sedang beroperasi, dan ExxonMobil is coming back. Kehadiran mereka merupakan berita baik, bukan berita buruk seperti yang pernah kita dengar sebelumnya. Kita berharap ke depannya ada pencerahan secara ekonomi,” ujar Radhi dalam sebuah diskusi di Banda Aceh, Selasa (10/12/2024).
Proyek ini diharapkan mampu membuka peluang ekonomi baru dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat Aceh.
Namun, kehadiran kembali ExxonMobil tidak lepas dari tantangan besar untuk membangun kembali hubungan dengan masyarakat lokal, mengingat sejarah panjang tuduhan pelanggaran HAM terhadap perusahaan tersebut.
Dengan proyek eksplorasi baru di West Andaman, ExxonMobil memiliki kesempatan untuk memperbaiki hubungan dengan masyarakat Aceh dan menciptakan dampak yang lebih inklusif.
Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin juga berharap investasi migas memberikan dampak positif bagi kehidupan warga Aceh. Saat ini penduduk Aceh masih tertinggi di Pulau Sumatera. “Jika ExxonMobil ingin menggarap kembali potensi migas di Aceh, mereka harus menunjukkan niat yang sungguh-sungguh untuk membangun Aceh. Berikan kesempatan besar bagi keterlibatan orang Aceh,” ujar Safaruddin.