BISNISKITA.ID | Banda Aceh – Dalam banyak catatan sejarah menyebutkan pada abad ke 16 dan 17, Kerajaan Aceh Darussalam menjadi pusat perdagangan rempah di Asia. Ekonomi kota kala itu ditopang oleh perdagangan. Melalui Pekan Kebudayaan Aceh semangat mengembalikan kejayaan rempah diusung.
Sher Banu Khan seorang peneliti dari Universitas Negeri Singapura, dalam makalahnya yang disampaikan pada seminar internasional ”Jejak Sejarah Jalur Rempah” di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, Senin (6/11/2023) mengatakan, Kerajaan Aceh Darussalam merupakan pusat pertemuan para pedagang dari timur dan barat.
Secara geografis, Aceh sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Banyak pedagang dari China, Eropa, dan Arab membawa dan membeli barang-barang, termasuk rempah, di Aceh.
Selain karena letak yang strategis, menurut Sher Banu, Kerajaan Aceh Darussalam juga ulung dalam membuat kesepakatan dagang.
Lada salah satu rempah yang paling diburu kala itu. Lada disebut juga ‘emas hitam’ karena harga yang mahal. Dalam makalahnya Banu mengatakan Aceh mengirimkan lebih banyak lada ke Mekkah dibandingkan dengan Portugis.
Beberapa rempah yang menjadi primadona kala itu seperti, lawang, cengkeh, lada, pinang, kemenyan, beras, manjakani, kemiri, kayu cendana, dan kulit kayu manis.
dari lembaga Kebudayaan dan Pendidikan Aceh menuturkan bukan hanya Kota Banda Aceh, tetapi kawasan barat Aceh juga pernah menjadi bagian dari perdagangan rempah.
Dia melakukan kajian tentang Bandar Susoh, di Kabupaten Aceh Barat Daya. Kajian Aris telah diterbitkan dalam buku ‘Susoh Cahaya Kemilau Peradaban’.
Bandar Susoh yang sudah dikenal sejak abad ke-17 (1601-1700) itu, menjadi tempat singgah bangsa-bangsa Eropa.
Menurut Aris, perdagangan antara Kerajaan Susoh dengan bangsa luar sudah terjalin dengan sangat baik.
Pada tahun 1787 Syahbandar Susoh yang bernama Leubee Dapa membuat perjanjian dagang dengan Inggris, untuk menyediakan lada. “Tahun 1803 Bandar Susoh menghasilkan sekitar 5.000 ton lada. Sebagian besar lada tersebut dikirim ke New England,” kata Aris.
Namun, pada masa penjajahan Kolonial Belanda, kejayaan perdagangan rempah Aceh memudar. Belanda memerangi dan menguasai rempah Aceh. Kerajaan Aceh Darussalam mengalami kekalahan.
Kondisi keamanan Aceh semakin tidak stabil. Dilanjutkan dengan fase perang kemerderkaan RI dan pasca kemerdekaan, kondisi keamanan Aceh masih kacau. Kemunculan pemberontakan DI/TII dan disusul oleh Gerakan Aceh Merdeka.
Konflik berkepanjangan membuat sektor perdagangan dan produksi rempah kehilangan kekuatan. Ditambah lagi dengan bencana tsunami, membuat Aceh nyaris kehilangan semangat untuk bangkit.
Namun, setelah perjanjian damai antara GAM dengan Pemerintah RI, semangat untuk mengembalikan kejayaan rempah Aceh tumbuh kembali.
Dalam seminar ‘Peluang Masa Depan Ekonomi Rempah’ di Universitas Syiah Kuala, Direktur Akses Non-Perbankan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Saifullah Agam menuturkan peluang untuk pengembangan perdagangan rempah Aceh terbuka lebar.
Aceh masih memproduksi rempah seperti cengkeh, lada, dan pala. Aceh juga produk pertanian lain yang telah mendapatkan pasar dunia, seperti kopi dan nilam.
Agam mendorong pelaku usaha dan pemerintah bersama-sama melakukan promosi dan membuka koneksi ke pasar internasional.
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh Cut Huzaimah menuturkan butuh usaha keras untuk meningkatkan produksi rempah. Belakangan tidak ramai petani yang fokus pada tanaman rempah.
Namun, Cut mengatakan harapan selalu ada jika generasi muda mau terlibat dalam pengembangan rempah Aceh. “Rempah bisa dipakai untuk usaha kuliner dan obat-obatan,” kata Cut.
Pekan Kebudayaan Aceh ke-8 mengangkat tema ”Rempahkan Bumi, Pulihkan Dunia” adalah usaha pemerintah untuk merawat asa mengembalikan kejayaan rempah Aceh.