Harist Nabawi (23) duduk di balik meja kerjanya, mengamati layar komputer yang menampilkan desain terbaru untuk pesanan pelanggan. Tangannya sesekali menggerakkan mouse, memperbaiki detail sebelum masuk ke tahap produksi.
Di ruang belakang, suara mesin jahit dan alat sablon terdengar beriringan, menandakan kesibukan di workshop miliknya, Bijeh Production.
Perjalanan bisnis Harist dimulai dari sesuatu yang sederhana yaitu keinginan untuk mandiri. Sejak duduk di bangku sekolah menengah, ia mulai berjualan kaus hasil desainnya sendiri kepada teman-teman di sekolah dan pesantren. Modal awalnya tidak besar, hanya Rp600 ribu yang ia kumpulkan dari uang jajan.
Awalnya, semua produksi ia jalankan dari dalam lemari kecil di kamar asrama pesantren. Di ruang terbatas itu, ia menyimpan kaus, perlengkapan desain, hingga pesanan pelanggan. Ia bahkan harus pintar-pintar menyusun barang agar tidak terlihat oleh pengurus pesantren.
Kini, hampir sembilan tahun berselang, usahanya telah berkembang menjadi bisnis konveksi dengan enam orang karyawan dan kapasitas produksi yang terus meningkat.
Tak lagi di lemari kecil, Bijeh Production kini memiliki toko tiga lantai di kawasan Simpang Surabaya, Kota Banda Aceh, yang menjadi pusat produksi sekaligus tempat pemasaran produknya.
Awal Mula Bisnis Konveksi
“Dulu saya hanya menawarkan jasa desain. Setelah itu, saya coba produksi sendiri dengan menyablon di tempat rekanan. Dari situlah saya belajar banyak hal tentang bisnis konveksi,” ujar Harist saat ditemui Bisnisia.id, Rabu (29/1/2025).
Lahir dan besar di lingkungan pesantren, Harist terbiasa dengan kedisiplinan. Namun, aturan ketat sempat menjadi tantangan bagi usahanya. Ia ingat betul bagaimana pada suatu hari, baju-baju jualannya disita oleh ustaz karena dianggap melanggar aturan pesantren.
“Waktu itu rasanya berat, tapi saya tidak menyerah. Saya coba cari cara agar tetap bisa menjalankan usaha tanpa melanggar aturan,” katanya sambil tersenyum.
Alih-alih menyerah, kegagalan itu justru memotivasinya untuk lebih serius. Ia mulai belajar lebih dalam tentang dunia sablon dan konveksi, termasuk bagaimana memilih bahan berkualitas dan bekerja dengan vendor terpercaya.
Setelah lulus sekolah menengah di pesantren pada 2018, Harist melanjutkan pendidikannya ke Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Meski sibuk kuliah, bisnisnya tetap berjalan.
Saat masih tinggal di kos-kosan, ia hanya memiliki satu mesin konveksi manual dan mengerjakan pesanan seorang diri. Saat itu, omzetnya berkisar antara Rp1 juta hingga Rp3 juta per bulan.
Baca juga: Wizzkitchen, Usaha Cake dan Dessert Milenial yang Sukses Menembus Pasar Kuliner Aceh
Seiring berjalannya waktu, bisnisnya tumbuh. Ia berhasil menyewa toko pertamanya di kawasan Peunayong, Banda Aceh. Namun, pada 2021, ia harus pindah lokasi karena meningkatnya permintaan pelanggan dan kebutuhan ruang produksi yang lebih besar. Akhirnya, ia memindahkan Bijeh Production ke lokasi yang lebih strategis di Simpang Surabaya.
“Saya harus terus beradaptasi. Saat kapasitas produksi meningkat, saya sadar bahwa tempat yang lebih besar sangat diperlukan agar operasional lebih efisien,” ujarnya.
Kini, Bijeh Production memiliki enam karyawan tetap, terdiri dari tiga penjahit, dua tenaga sablon, dan seorang desainer grafis. Dengan kapasitas produksi yang lebih besar, omzetnya pun meningkat drastis, mencapai Rp30 juta per bulan.
Lihat postingan ini di Instagram
Namun, perjalanan bisnisnya tidak selalu mulus. Ia pernah mengalami kerugian hingga Rp40 juta akibat ditipu vendor. Uang yang telah dibayarkan tidak pernah dikembalikan, dan produksi baju terhenti.
“Rasanya berat sekali, tapi saya sadar ini adalah bagian dari perjalanan bisnis. Saya harus bertanggung jawab kepada pelanggan, jadi saya buat ulang pesanan dengan dana sendiri,” katanya.
Utamakan Pendidikan
Di tengah kesuksesannya sebagai pengusaha muda, Harist tidak melupakan pentingnya pendidikan. Hal ini terbukti dengan keberhasilannya menyelesaikan kuliahnya dalam waktu 3 tahun 8 bulan dengan predikat cum laude.
Bahkan, ia mendapatkan beasiswa mahasiswa berprestasi dan melanjutkan ke Program Profesi Guru (PPG) dengan beasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Baca juga: Kisah Nabila Owner Skincare Nadif Mengubah Passion Jadi Bisnis
Baginya, pendidikan adalah investasi jangka panjang yang akan selalu memberi manfaat.
“Banyak yang bilang lebih baik fokus bisnis daripada kuliah. Tapi saya percaya, dengan pendidikan, kita bisa mengembangkan usaha lebih baik. Kita belajar public speaking, manajemen, dan membangun relasi,” ujarnya.
Kini, Harist terus berusaha mengembangkan Bijeh Production agar bisa bersaing di tingkat nasional. Ia juga tengah mengupayakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk meningkatkan kapasitas produksinya.
“Saya sudah mengajukan ke dua bank besar di Aceh, tapi belum ada persetujuan. Semoga dalam waktu dekat bisa terealisasi,” katanya.
Harist berharap kisahnya bisa menginspirasi anak-anak muda untuk berani memulai usaha sendiri.
“Ketika kita masih muda, kita punya banyak energi dan belum banyak tanggungan. Ini saat yang tepat untuk mencoba. Saat ini saya punya prinsip: cinta, kasih, dan peduli. Cintai pekerjaan, kasih yang terbaik untuk pelanggan, dan peduli dengan orang-orang di sekitar kita,” ujarnya.
Bagi Harist, bisnis bukan hanya soal keuntungan, tetapi juga tentang memberikan manfaat bagi banyak orang. Kini, ia telah membuktikan bahwa dari lemari kecil di asrama pesantren, seseorang bisa berkembang menjadi pengusaha sukses.