Berawal dari kecintaan terhadap mochi, Sulviani Fitri (23), bersama sang kakak, berhasil membangun usaha Mochichantik yang kini memiliki tiga cabang di Indonesia. Bisnis yang dimulai sejak 2015 ini berkembang pesat, berawal dari eksperimen rumahan hingga menjadi salah satu merek mochi yang dikenal luas.
Sulviani mengisahkan bahwa ide membangun bisnis ini muncul secara tidak sengaja. Saat itu, ia masih bersekolah dan kakaknya masih kuliah.
“Pada tahun 2015, di Banda Aceh masih sangat sedikit yang menjual mochi. Bisa dihitung dengan jari, mungkin tidak sampai lima toko yang menjualnya. Itu pun bukan khusus mochi, hanya sekadar varian tambahan di toko kue lainnya,” kenangnya.
Karena kesukaan mereka terhadap mochi, Sulviani dan kakaknya mencoba membuat varian sendiri di rumah. Jika biasanya mochi hanya diisi kacang hijau atau kacang tanah, mereka berinovasi dengan isian cokelat dan oreo.
“Awalnya hanya untuk konsumsi sendiri, tidak ada niat untuk dijual,” ujarnya.
Namun, segalanya berubah saat mereka membagikan mochi buatan sendiri kepada teman-teman. Respons positif pun berdatangan.
“Waktu itu bulan puasa, jadi kami membagikan takjil mochi dalam kemasan kecil berisi empat biji. Tanpa disangka, banyak yang suka dan mulai menghubungi untuk memesan,” jelasnya.
Tanpa perencanaan besar, permintaan terus meningkat. Berbekal strategi pemasaran melalui WhatsApp dan Instagram, Mochichantik mulai dikenal luas.
“Karena awalnya ini usaha rumahan, kami fokus di online. Awalnya sistem pre-order (PO) dua kali seminggu,” katanya.
Di awal usaha, Sulviani dan kakaknya hanya bisa menjual sekitar 20 hingga 30 cup per PO. Namun, seiring dengan meningkatnya permintaan, produksi mereka pun bertambah.
“Dulu kami hanya pakai cup isi empat. Setelah mendapatkan saran dari berbagai pelatihan UMKM, kami berinovasi membuat box dengan desain menarik,” ujarnya.
Keputusan ini terbukti tepat karena sejak peluncuran kemasan box berwarna pink, permintaan meningkat tajam.
Selain inovasi produk dan kemasan, strategi pemasaran juga menjadi kunci keberhasilan Mochichantik. Mereka mulai aktif melakukan promosi melalui media sosial dan menggandeng selebgram untuk endorse produk mereka.
“Kami punya anggaran promosi bulanan untuk setiap cabang, baik di Banda Aceh maupun Jakarta. Fokus kami adalah platform seperti Instagram dan TikTok yang sedang tren,” ungkap Sulviani.
Kini, Mochichantik memiliki tiga cabang, yaitu di Banda Aceh, Jakarta Selatan, dan Bogor.
“Di Banda Aceh, saya yang mengelola langsung, sedangkan cabang Jakarta dan Bogor dipegang oleh kakak saya,” katanya.
Ekspansi ini tidak terlepas dari tingginya permintaan dan semakin banyaknya reseller yang ingin bergabung.
“Sistem reseller kami beli putus. Mereka bisa membeli dalam jumlah besar dan mendapatkan bonus setelah mencapai jumlah tertentu. Ini membantu memperluas jangkauan pasar kami,” tambahnya.
Perjalanan bisnis Mochichantik tentu tidak selalu mulus. Sulviani mengakui bahwa pandemi Covid-19 menjadi tantangan terbesar.
“Saat pandemi, kami mengalami penurunan omset karena pembatasan aktivitas. Tapi kami beradaptasi dengan meningkatkan penjualan via platform online seperti GoFood dan GrabFood,” ujarnya.
Selain tantangan bisnis, Sulviani juga harus pandai mengatur waktu karena ia saat ini sedang menjalani koas kedokteran di salah satu rumah sakit di Banda Aceh.
“Saya harus membagi fokus antara kuliah dan bisnis. Saat ada ujian atau tugas berat, saya lebih fokus ke studi. Tapi di waktu senggang, saya kembali mengawasi bisnis,” katanya.
Sementara itu, kakaknya yang juga berprofesi sebagai dokter turut membantu menjalankan bisnis ini.
Saat ini, Mochichantik mempekerjakan sekitar 25 karyawan di Banda Aceh dan 22 karyawan di Jakarta serta Bogor. Mereka bekerja dalam sistem shift untuk produksi, pelayanan, dan pengantaran produk.
Dari segi penjualan, Mochichantik kini mampu menjual sekitar 300-400 box mochi per hari dengan harga rata-rata Rp25.000 per box.
“Jumlah ini bisa naik turun tergantung musim dan tren pasar. Apalagi sekarang kan sudah banyak kompetitor juga,” kata Sulviani.