Muda dan kaya adalah impian banyak orang. Tidak ada yang mustahil. Banyak anak muda Aceh membuktikan bahwa dengan semangat kerja membara, mereka bisa menjadi pengusaha sukses di usia muda.
Sulviani Fitri (23) membangun Mochichantik berawal dari kecintaan pada mochi. Bersama sang kakak, ia mengubah eksperimen rumahan menjadi bisnis dengan tiga cabang di Indonesia.
“Awalnya cuma iseng bikin mochi untuk sendiri,” kenang Sulviani. Tapi saat mereka bagi-bagikan ke teman, responsnya luar biasa. Bulan puasa 2015, mochi mereka laris jadi takjil.
Strategi pemasaran digital lewat WhatsApp dan Instagram menjadi kunci. Dari hanya 20-30 cup per pre-order, kini mereka menjual 300-400 box per hari dengan omzet jutaan rupiah.
Tantangan terberat? Pandemi. Omset sempat turun, tapi mereka beradaptasi dengan GoFood dan GrabFood. Sulviani juga harus pintar membagi waktu antara bisnis dan koas kedokteran.
Kisah Harist Nabawi (23) tak kalah inspiratif. Bermodal Rp600 ribu, ia memulai Bijeh Production dari lemari kecil di pesantren. Kini, bisnis konveksinya menghasilkan Rp30 juta per bulan.

“Dulu baju jualan saya disita ustaz,” cerita Harist sambil tertawa. Tapi ia tak menyerah. Ia belajar sablon, cari vendor terpercaya, dan terus berkembang meski sempat ditipu hingga rugi Rp40 juta.
Di tengah kesibukan bisnis, Harist tetap menyelesaikan kuliah cum laude. Baginya, pendidikan dan bisnis harus seimbang. “Ilmu manajemen dan public speaking sangat membantu,” ujarnya.
Nabila Alifia (24) membuktikan passion bisa jadi bisnis. Dari jualan online sejak SMP, ia kini punya toko skincare “Nadif” yang estetik dengan dominan warna pink.
“Dulu ayah ingin saya fokus kuliah,” akunya. Tapi setelah melihat keseriusannya, keluarga pun mendukung. Kini, Nadif memiliki lima karyawan dan terus melebarkan sayap.
Tantangan terbesar Nabila? Persaingan harga. Banyak kompetitor menjual lebih murah. Tapi ia yakin, konsistensi dan inovasi adalah kunci. “Bisnis skincare enggak akan mati,” tegasnya.
Ketua IWAPI Aceh, Mainar Novita, berharap UMKM lokal bisa go international. “Sudah waktunya produk Aceh dikenal global,” ujarnya. Saat ini, hanya 0,1% UMKM yang menembus pasar luar negeri.
Kepala Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II pada Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Aceh, Dr Mahpud Sujai menegaskan UMKM sebagai tulang punggung ekonomi Aceh. Dengan 424.850 usaha, sektor ini menyumbang besar bagi PDRB. Tapi akses modal dan digitalisasi masih jadi kendala. Sebagian besar pelaku UMKM adalah anak muda.

“UMKM butuh pelatihan dan pendampingan,” jelas Mahpud. Digital marketing menjadi solusi agar produk lebih dikenal, baik di dalam maupun luar negeri.
Sulviani, Harist, dan Nabila adalah bukti: usia bukan penghalang sukses. Mereka berani mulai dari nol, jatuh, lalu bangkit lebih kuat.
Kuncinya? Inovasi dan adaptasi. Mochichantik bereksperimen dengan rasa, Bijeh Production tingkatkan kualitas sablon, Nadif fokus pada tren skincare.
Dukungan keluarga dan lingkungan juga vital. Dari awalnya ditentang, kini orang tua mereka menjadi penyemangat terbesar.
Para pengusaha muda ini tak hanya mengejar profit, tapi juga menciptakan lapangan kerja.

Mochichantik mempekerjakan puluhan karyawan, Bijeh Production membuka peluang bagi penjahit lokal, Nadif memberdayakan staf muda.
Mereka adalah wajah baru ekonomi Aceh—dinamis, kreatif, dan pantang menyerah.
Semangat mereka membara: bukan sekadar bertahan, tapi maju menguasai pasar. Jika mereka bisa, mengapa tidak Anda?