Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah dan nyaris menembus level psikologis Rp17.000 pada perdagangan Selasa (8/4/2025). Kondisi ini dipicu oleh meningkatnya ketegangan geopolitik dan ekonomi global, terutama akibat langkah terbaru Presiden AS Donald Trump yang kembali menaikkan tarif impor terhadap produk asal Tiongkok.
Mengutip data perdagangan antarbank, rupiah sempat menyentuh level Rp16.970 per dolar AS pada siang hari sebelum akhirnya ditutup sedikit menguat di Rp16.930. Ini merupakan level terendah sejak krisis moneter 1998. Melemahnya rupiah juga dibarengi dengan penurunan signifikan di pasar saham, di mana IHSG ditutup melemah 2,3 persen ke level 6.240.
Bank Indonesia (BI) langsung turun tangan untuk menstabilkan pasar. Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan pihaknya telah melakukan intervensi ganda di pasar spot dan obligasi guna menahan tekanan terhadap rupiah. “Kami tetap berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar sesuai dengan fundamental ekonomi dan mekanisme pasar,” ujar Perry dalam keterangan pers.
Pelemahan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal. Dari dalam negeri, pelaku pasar juga merespons dengan cemas situasi ekonomi pasca-pelantikan Presiden Prabowo Subianto. Beberapa kebijakan awal yang belum sepenuhnya jelas dan kekhawatiran terhadap pengelolaan fiskal turut memperburuk sentimen investor.
Sejumlah analis memperkirakan tekanan terhadap rupiah masih akan berlanjut dalam beberapa pekan ke depan, terutama jika ketegangan antara AS dan Tiongkok tidak mereda. “Pasar global dalam kondisi risk-off. Investor mencari aset aman seperti dolar AS dan emas, sementara emerging markets seperti Indonesia menjadi korban,” kata ekonom Bank Mandiri, Dendi Ramdani.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mencoba meredam kekhawatiran publik dengan menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih cukup solid. Ia menyebutkan bahwa cadangan devisa yang mencapai lebih dari 140 miliar dolar AS masih mampu menopang kebutuhan pembiayaan dan impor selama beberapa bulan ke depan.
Namun begitu, sejumlah pelaku usaha mulai mengeluhkan dampak depresiasi rupiah terhadap biaya produksi dan bahan baku impor. Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin inflasi akan ikut terdorong naik dan menekan daya beli masyarakat di tengah upaya pemulihan pasca pandemi.