Bisnisia.id| Banda Aceh – Penutupan izin operasional tiga Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) di Aceh, yaitu BPRS Aceh Utara pada awal 2024 dan BPRS Kota Juang Perseroda pada akhir 2024, dan BPRS Gayo menjadi sorotan publik. Kasus ini tidak hanya menimbulkan keprihatinan terhadap kinerja sektor perbankan syariah di wilayah tersebut, tetapi juga memicu diskusi tentang tingkat kepercayaan masyarakat terhadap BPRS dan masa depan industri perbankan syariah di Aceh.
Fenomena ini menggambarkan tantangan serius yang dihadapi lembaga keuangan syariah dalam menjaga stabilitas operasional, terutama di tengah meningkatnya persaingan dari bank konvensional dan fintech. Lebih dari sekadar persoalan internal, kasus ini menjadi cerminan pentingnya tata kelola yang profesional, manajemen risiko yang terukur, serta komitmen pada prinsip-prinsip syariah yang kokoh untuk memastikan keberlanjutan sektor perbankan syariah di Aceh.
Guru Besar Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala, M. Shabri Abd. Majid, menyebutkan bahwa fenomena ini menjadi peringatan penting bagi industri BPRS di Aceh.
“Penutupan ini tidak semata-mata mencerminkan kegagalan prinsip syariah, tetapi lebih kepada lemahnya tata kelola, manajemen risiko, dan kapasitas pengelola bank dalam menjaga kesehatan lembaga perbankan,” jelasnya, Banda Aceh, Sabtu (30/11/2024).

Menurut Shabri, pencabutan izin operasional bank dilakukan sebagai langkah terakhir setelah upaya penyelamatan tidak membuahkan hasil.
“Bank yang tidak sehat tidak boleh dibiarkan terus beroperasi, karena dapat merugikan nasabah dan mengancam stabilitas perbankan secara keseluruhan,” ujarnya.
Namun, ia mengakui bahwa kasus ini dapat memengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap BPRS, terutama jika nasabah memiliki ekspektasi bahwa bank syariah tidak mungkin mengalami kegagalan. “Ke depan, masyarakat akan lebih selektif dalam memilih BPRS sebagai mitra bisnis,” tambahnya.
Shabri juga menyoroti kondisi BPRS lain di Aceh, yang seharusnya mengambil pelajaran dari kasus ini. “Meski data kesehatan bank secara spesifik ada di OJK, penutupan dua BPRS ini menjadi indikasi bahwa manajemen BPRS lain perlu lebih berhati-hati dalam menjaga tata kelola dan kinerja operasional,” kata dia.
Untuk dapat bertahan di tengah dominasi bank besar dan fintech, Shabri menekankan pentingnya manajemen risiko yang terukur, tata kelola yang baik, dan pengelolaan berbasis digitalisasi.
“BPRS harus mampu menjangkau nasabah lebih luas dengan layanan yang cepat, biaya murah, dan transparan. Selain itu, pengelola harus jujur dan profesional dalam mengelola pembiayaan agar terhindar dari risiko kredit macet atau Non-Performing Financing (NPF),” jelasnya.
Shabri meyakini bahwa kasus ini tidak akan memengaruhi implementasi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh. “Penutupan bank syariah tidak berkaitan dengan prinsip syariahnya, tetapi lebih kepada kegagalan manajemen. Justru, persaingan yang lebih sehat pasca kasus ini dapat mendorong peningkatan kualitas layanan perbankan di Aceh,” tuturnya.
Ia juga menekankan peran penting pemerintah daerah dalam memastikan keberlangsungan BPRS. “Pemerintah harus memastikan pengelolaan BPRS dilakukan oleh pihak yang profesional dan berintegritas. Jika diperlukan, suntikan modal atau bailout dapat dilakukan untuk mendukung BPRS yang berpotensi sehat,” kata Shabri.
Selain itu, menurutnya, peningkatan kapasitas manajerial pengelola bank melalui pelatihan dan pendidikan terkait manajemen risiko serta diversifikasi produk sangat diperlukan.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa kesuksesan perbankan syariah tidak hanya bergantung pada prinsip syariah yang diterapkan, tetapi juga pada profesionalisme, integritas, dan inovasi dalam pengelolaan bank.
Meskipun menghadapi tantangan, Shabri optimis bahwa sektor BPRS di Aceh tetap memiliki prospek yang cerah. “Selama dikelola dengan baik, BPRS dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan ekonomi daerah. Kasus ini harus menjadi momen evaluasi untuk memperbaiki tata kelola dan meningkatkan daya saing industri perbankan syariah,” pungkasnya.