Praktik perbudakan di sektor perikanan masih langgeng. Kehadiran negara dinanti sebelum anak-anak muda Aceh terus menjadi korban.
Provinsi Aceh menjadi salah satu wilayah yang rentan terhadap tingginya kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Berdasarkan data dari Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI), sebanyak 612 pekerja migran ilegal telah dipulangkan ke Aceh dalam kurun waktu 2022 hingga 2024.
Salah satu sektor yang sangat rentan adalah perikanan, di mana sebagian besar dari mereka bekerja di kapal-kapal berbendera asing. Mereka sering kali menghadapi kondisi kerja yang berat, upah yang tidak dibayarkan, hingga berbagai bentuk eksploitasi fisik dan mental, yang pada akhirnya mengarah pada praktik perbudakan modern.
Baca juga: Jangkar Kopi, Upaya Bangkit Para Korban TPPO di Aceh
Direktur Sumatra Environmental Initiative (SEI), Masykur Agustiar, mengungkapkan perjalanan panjang lembaga yang ia pimpin dalam menangani kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) khususnya di sektor perikanan. Sejak 2022, SEI telah aktif mengadvokasi isu perbudakan modern yang dialami pekerja migran di atas kapal berbendera asing.
“Awalnya, kasus TPPO ini kami kira tidak menyentuh Aceh. Namun, pada 2021, film dokumenter Before You Eat oleh Greenpeace Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia membuka mata kami. Film ini menampilkan dua pemuda Aceh sebagai korban kerja paksa di kapal asing,” jelas Masykur kepada Bisnisia.id di Jangkar Kopi, Ateuk Pahlawan, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, pada Kamis (16/01/2025).

Berangkat dari temuan itu, SEI memulai investigasi dan riset mendalam terkait modus operandi perekrutan pekerja migran. Mereka menemukan berbagai pelanggaran, seperti pemalsuan dokumen hingga penahanan upah.
Penelitian SEI yang bekerja sama dengan Greenpeace Indonesia mengungkapkan 46 pekerja asal Aceh menjadi korban kerja paksa di kapal perikanan antara 2018 hingga 2020. “Jumlah korban sesungguhnya bahkan bisa mencapai ratusan,” tambahnya.
Baca juga: Haji Uma: Ada Oknum dalam Jaringan TPPO
Modus yang digunakan perekrut, menurut Masykur, mirip dengan sektor lain. “Korban dijanjikan gaji tinggi, hingga 450 dolar AS per bulan. Tapi kenyataannya, mereka hanya menerima sekitar 300 dolar, atau bahkan tidak dibayar sama sekali,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti pelanggaran lain, seperti pemalsuan dokumen rekam medis dan paspor. Proses ini sering terjadi di Aceh sebelum korban dikirim ke luar negeri secara non-prosedural.
Hotspot TPPO di Aceh
SEI mencatat beberapa wilayah di Aceh sebagai titik rawan TPPO, terutama di sektor perikanan. Kabupaten Aceh Utara, Bireuen, dan Pidie menjadi daerah transit utama bagi calon pekerja. Sementara itu, wilayah pantai timur Aceh, dengan akses langsung ke Malaysia, juga menjadi jalur pengiriman tenaga kerja ilegal.
“Wilayah ini menjadi jalur favorit karena aksesnya dekat dengan Sumatra Utara, yang merupakan pintu utama perdagangan orang ke luar negeri,” ujar Masykur.
Salah satu kendala utama dalam menangani TPPO, menurut Masykur, adalah dualisme regulasi terkait perekrutan dan penempatan tenaga kerja di sektor laut. “Kementerian Perhubungan mengatur perekrutan melalui Surat Izin Perusahaan Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK), sementara Kementerian Tenaga Kerja memiliki izin P3MI untuk pekerja migran. Dualisme ini dimanfaatkan mafia tenaga kerja untuk menjalankan perekrutan ilegal,” paparnya.

Selain itu, aparat penegak hukum masih kurang memahami konteks TPPO secara menyeluruh. Mereka cenderung fokus pada transaksi keuangan, padahal unsur TPPO tidak selalu bergantung pada bukti tersebut. “Kasus TPPO sering tidak terungkap karena aparat hanya fokus pada bukti transfer, bukan pada proses pelanggaran yang terjadi,” kritiknya.
Baca juga: Tiga Tahun Sebanyak 612 Pekerja Migran Ilegal Aceh Dipulangkan
SEI merekomendasikan pemerintah Aceh untuk memperkuat pemahaman aparat penegak hukum dan memperbaiki sistem perekrutan tenaga kerja. “Pemerintah perlu menyediakan informasi yang jelas bagi calon pekerja tentang prosedur legal dan bahaya TPPO. Proteksi harus dimulai dari tingkat desa, melalui pengawasan ketat terhadap izin keberangkatan,” tegas Masykur.
Ia juga menekankan perlunya sinergi antar-lembaga untuk mengatasi dualisme regulasi dan penegakan hukum yang adil bagi korban TPPO.
Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan, SEI berharap advokasi ini tidak hanya memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga mencegah lebih banyak warga Aceh menjadi korban perdagangan orang di masa mendatang.