Bisnisia.id, Jakarta — Di tengah hiruk-pikuk ibu kota, sebuah pertemuan penting digelar di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Jumat pagi itu, 11 April 2025. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, datang membawa harapan besar: membangun kembali jembatan yang menghubungkan impian masyarakat Aceh dengan kenyataan yang lebih baik.
Ia disambut langsung oleh Menko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), serta Menteri Transmigrasi, Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara. Di hadapan mereka, Gubernur Muzakir memaparkan potret infrastruktur Aceh hari ini—penuh tantangan, namun menyimpan potensi yang luar biasa.
“Jalan nasional sepanjang 2.112 kilometer di Aceh memang sudah 96 persen dalam kondisi baik. Tapi itu belum cukup,” katanya dengan nada tegas namun tenang. “Jalan provinsi masih menyisakan 20 persen yang belum layak, dan kita juga kekurangan 50 unit jembatan.”
Sorot matanya menyiratkan urgensi. Ia tahu betul bahwa pembangunan bukan sekadar statistik. Itu adalah denyut kehidupan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di pelosok Aceh, jauh dari pusat pemerintahan dan ekonomi.
Menghubungkan Wilayah, Mewujudkan Harapan
Gubernur juga menyinggung soal konektivitas antarwilayah yang masih lemah. Penyelesaian ruas Jalan Tol Trans Sumatera yang melintasi Aceh menjadi prioritas, begitu juga dengan pengadaan kapal ferry sebagai moda vital penghubung antar pulau dan daerah terpencil.
Tak hanya itu, sektor pertanian pun tak luput dari perhatian. Irigasi yang bermasalah di 14 provinsi prioritas, termasuk Aceh, masih menjadi penghambat produktivitas petani. Bagi Muzakir, membenahi irigasi adalah membenahi masa depan pangan rakyatnya.
Transmigrasi Lokal, Jalan Baru Melawan Kemiskinan
Namun pembangunan fisik saja tak cukup. Dalam bidang transmigrasi, Aceh ternyata memiliki aset besar: lahan seluas hampir 20 ribu hektare. Sayangnya, baru sekitar 5.700 hektare yang dimanfaatkan.
“Melalui program transmigrasi lokal, kami ingin menghidupkan lahan-lahan ini,” ujar Muzakir. “Ini bukan hanya soal pemindahan penduduk, tapi tentang menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru dan menurunkan kemiskinan.”
Ia juga menyinggung rumah-rumah tidak layak huni yang tersebar di berbagai pelosok Aceh—tempat tinggal yang seharusnya menjadi tempat berlindung, namun justru menyimpan luka sosial. Baginya, memperbaiki rumah berarti memulihkan martabat.
Sambutan Positif dari Pemerintah Pusat
Dua menteri yang hadir hari itu tidak hanya mendengar, tapi juga memberikan respons positif. Menko AHY menilai inisiatif yang dibawa Pemerintah Aceh sebagai langkah nyata menuju pembangunan berkeadilan. Menteri Transmigrasi pun menyatakan kesiapannya untuk bersinergi dalam mewujudkan program-program tersebut.
Mereka menyadari, pembangunan Aceh bukan hanya urusan lokal. Ia adalah bagian penting dari mimpi besar Indonesia yang lebih merata.
Langkah Bersama untuk Aceh
Turut hadir dalam pertemuan itu sejumlah tokoh penting dari Aceh—Ketua DPR Aceh Zulfadli, Sekda Aceh M. Nasir Syamaun, Kadis PUPR Mawardi, Kadis Mobilitas Penduduk Akmil Husen, serta Ketua BRA Jamaluddin dan Ketua Komisi IV DPRA, Nurdiansyah Alasta. Mereka semua datang bukan hanya untuk menyaksikan, tapi ikut memperjuangkan.
Dari ruang pertemuan di Jakarta itu, sebuah pesan mengalir deras ke seluruh pelosok Aceh: bahwa pembangunan bukan sekadar janji politik, melainkan kerja bersama yang dimulai dari keberanian untuk bersuara dan menjalin kolaborasi.
Dan hari itu, Aceh bersuara.