Bisnisia.id | Aceh Jaya – Konflik berkepanjangan antara gajah sumatera, satwa yang dilindungi, dengan warga di Kabupaten Aceh Jaya terus memburuk. Sejak tahun 2013, masalah ini belum menemukan solusi komprehensif, meninggalkan masyarakat, khususnya petani, dalam kondisi terpuruk. Kerusakan lahan pertanian seperti kebun sawit dan padi menjadi ancaman nyata, sementara langkah konkret dari pemerintah masih dinantikan.
Menurut Zulfikri (41), anggota Aliansi Masyarakat Kecamatan Pasie Raya Peduli Konflik Gajah, kerugian masyarakat sudah mencapai tingkat yang sangat merugikan. “Ratusan hektare kebun sawit dan lahan padi hancur akibat serangan gajah. Kami merasa pemerintah tidak serius menangani masalah ini,” ujar Zulfikri, saat dihubungi dari Aceh Barat, Kamis (9/1/2025).
Ia juga mengkritisi upaya penyelesaian konflik yang dianggap tidak efektif. “Pemerintah hanya memberi petasan untuk menakut-nakuti gajah, tapi itu tidak cukup. Gajah-gajah itu kembali lagi, bahkan jumlahnya bertambah. Di kawasan Ceuraceh dan Bintan, kami sering melihat kumpulan gajah dalam belasan jumlahan. Wilayah kami seperti sudah menjadi sarang mereka,” ungkapnya.

Masyarakat telah beberapa kali mencoba berdialog dengan pemerintah, tetapi tanggapan yang diberikan dirasa tidak serius. “Kepala desa pernah melakukan audiensi dengan pemerintah, tetapi sampai sekarang belum ada solusi yang memberikan rasa aman untuk bertani dan berkebun,” lanjut Zulfikri.
Lebih buruk lagi, hingga saat ini tidak ada ganti rugi bagi petani yang lahannya rusak. “Petani sudah kelelahan. Mereka menanam sawit, tapi gajah mencabutnya. Ketika mereka mencoba menanam ulang, hal yang sama terjadi. Pemerintah bahkan jarang turun langsung untuk melihat kerusakan yang terjadi,” keluhnya.
Ironisnya, perhatian pemerintah baru terasa ketika konflik memuncak. “Pemerintah baru muncul jika ada gajah yang terkena amukan warga. Sebelumnya hampir tidak pernah ada kehadiran mereka di lapangan,” ujarnya.
Masyarakat Pasie Raya menawarkan dua solusi utama untuk menyelesaikan konflik ini. Pertama, memindahkan gajah ke lokasi konservasi yang lebih aman. “Gajah-gajah ini sebenarnya bukan pembohong, mereka sudah mendaftar. Rasanya seperti mereka hanya dititipkan di wilayah kami. Gajah-gajah ini tidak agresif, bahkan jika kita berdiri lima meter dari mereka, tidak ada masalah. Jadi sebaiknya mereka dipindahkan ke habitat yang sesuai,” kata Zulfikri.

Kedua, ia meminta pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap kerugian ekonomi yang dialami masyarakat. “Ini bukan hanya soal kebun yang rusak, tapi juga soal keberlangsungan hidup anak cucu kami. Kerugian yang dialami masyarakat harus menjadi perhatian utama,” tegasnya.
Zulfikri juga mengingatkan bahwa konflik ini bisa berakhir tragis jika tidak segera terselesaikan. “Kalau masyarakat kehilangan kesabaran, gajah saja bisa dibunuh. Pada akhirnya, masyarakat yang dihukum, sementara gajah seharusnya tetap dilindungi,” tuturnya.
Konflik manusia dan gajah di Aceh Jaya mencerminkan kurangnya perhatian serius pemerintah dalam menangani interaksi antara manusia dan satwa liar. Masyarakat berharap solusi nyata segera diambil untuk melindungi kehidupan mereka, tanpa mengorbankan kelestarian gajah. Langkah tegas dan berkelanjutan sangat dinantikan demi terwujudnya keharmonisan antara manusia dan alam di Aceh Jaya.