Bisnisia.id, Banda Aceh — Gugatan hukum terhadap Gubernur Aceh oleh 28 kelompok tani dari Kecamatan Babahrot, Aceh Barat Daya, kini memasuki tahap pembuktian di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Banda Aceh. Gugatan ini dilayangkan buntut dari penerbitan Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) seluas 2.600 hektare kepada PT Dua Perkasa Lestari (DPL), yang dinilai mencaplok lahan garapan warga.
Dalam sidang yang berlangsung Selasa (7/5), kelompok tani menghadirkan saksi untuk memperkuat gugatan mereka. Sebelumnya, sebanyak 79 dokumen bukti telah diserahkan kepada majelis hakim. Sidang juga turut dihadiri hampir seratus warga, termasuk perempuan, yang datang memberi dukungan moral.
Lahan yang disengketakan berada di Desa Pante Cermin, Kecamatan Babahrot. Para anggota kelompok tani mengklaim telah mengelola wilayah itu secara turun-temurun. Namun sejak izin diterbitkan atas nama PT DPL, mereka kehilangan akses terhadap lahan tersebut. Bahkan, kebun sawit warga yang ditanam dengan bibit bantuan pemerintah pusat pun disebut telah ditebang pihak perusahaan tanpa ganti rugi maupun konsultasi.

Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (ForBINA), Muhammad Nur, SH, menegaskan bahwa langkah hukum yang ditempuh kelompok tani merupakan bagian dari upaya memperbaiki tata kelola sektor perkebunan di Aceh.
“Apa yang dilakukan kelompok tani ini adalah bentuk perjuangan rakyat menjaga hak dan wilayah kelola mereka. Ini sejalan dengan semangat dan visi pasangan Mualem–Dek Fad yang mendorong evaluasi menyeluruh atas izin-izin perkebunan di Aceh,” ujar Muhammad Nur dalam keterangannya, Rabu (8/5).
Menurutnya, konflik lahan seperti yang terjadi di Babahrot bukan kasus tunggal. Persoalan serupa juga terjadi di sejumlah daerah lain seperti Aceh Selatan, Singkil, Subulussalam, Bireuen, dan Aceh Tamiang. Ia menilai konflik ini telah memicu berbagai dampak negatif seperti kriminalisasi warga, konflik sosial, hingga memperparah kemiskinan.

Muhammad Nur menegaskan bahwa perjuangan kelompok tani ini tidak dimaksudkan untuk menolak investasi. Namun, ia menuntut agar pembangunan sektor perkebunan tidak mengorbankan hak-hak masyarakat lokal.
“Ini bukan soal anti-investasi, tapi bagaimana investasi bisa berjalan adil tanpa menghilangkan sumber penghidupan masyarakat,” pungkasnya.
Gugatan ini diajukan melalui Kuasa Hukum Muhammad Reza Maulana, SH, dan Munardi, SHI, dari kantor hukum MRM Law Firm. Mereka mewakili koperasi Sawira, yang menaungi 28 kelompok tani tersebut. Sidang akan kembali dilanjutkan dalam beberapa pekan ke depan.