Bisnisia.id | Jakarta – Harga minyak sawit mentah (CPO) global diperkirakan terus meningkat. Kenaikan ini dipicu oleh stagnasi produksi, penurunan ekspor, serta berkurangnya pasokan minyak nabati di pasar internasional.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, menyebut bahwa produksi CPO cenderung stagnan karena banyak tanaman sawit yang sudah tua.
“Harga minyak sawit dan minyak nabati utama lainnya mengalami kenaikan akibat lambatnya pertumbuhan pasokan minyak sawit yang disebabkan oleh age profile tanaman yang semakin menua, turunnya output minyak bunga matahari akibat kekeringan, serta rendahnya stok kanola,” ujar Eddy, dikutip dari Kontan.co.id, Kamis (6/3/2025).
Harga CPO Tinggi, Tantangan bagi Indonesia
Kenaikan harga minyak sawit tidak selalu menguntungkan. Eddy menilai kondisi ini justru menjadi tantangan bagi Indonesia sebagai produsen utama, karena banyak negara importir mulai beralih ke minyak nabati lain.
“Yang kami khawatirkan adalah jika konsumen sudah beralih ke minyak nabati lain, maka untuk kembali menggunakan sawit akan membutuhkan upaya yang cukup besar,” ujarnya.
Produksi CPO 2024 Menurun, Stok Semakin Menipis
Sementara itu, Direktur Eksekutif GAPKI, Mukti Sardjono, melaporkan bahwa produksi CPO pada Desember 2024 mencapai 3,87 juta ton, turun 10,55 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Secara total, produksi CPO dan Palm Kernel Oil (PKO) sepanjang 2024 tercatat 52,76 juta ton, atau lebih rendah 3,80 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Penurunan produksi ini berdampak pada semakin menipisnya stok minyak sawit. Hingga akhir 2024, stok CPO dan PKO tercatat 2,58 juta ton, turun 18,06 persen dibandingkan akhir 2023.
“Dengan mempertimbangkan tren produksi dan konsumsi domestik, termasuk kebijakan biodiesel, produksi minyak sawit Indonesia pada 2025 diperkirakan mencapai 53,6 juta ton,” kata Mukti.
Ekspor Minyak Sawit Turun, China dan India Pangkas Impor
Sementara dari segi volume ekspor, juga terjadi penurunan mencapai 2.680 ribu ton yaitu dari tahun 2023 sebanyak 32,2 juta ton menjadi 29,5 juta ton ton di tahun 2024.
Mukti menyebut, penurunan terbesar terjadi untuk tujuan China sebesar 2.3 juta tin ton, India sebesar 1,1 juta ton ton.
Sementara, negara tujuan ekspor yang mengalami kenaikan terbesar yakni Pakista mencapai 489 ribu ton, dan Timur Tengah sebesar 164 ribu ton.
“Sedangkan Rusia dan beberapa negara lain mengalami kenaikan tapi dalam jumlah kecil,” pungkasnya.Â