Jakarta, Bisnisia.id — Industri hulu minyak dan gas (migas) nasional dinilai masih memiliki daya tarik bagi investor global, meski potensi besar di dalam negeri belum sepenuhnya tergarap. Dalam tiga tahun terakhir, nilai investasi di sektor ini tercatat melampaui US$300 juta atau setara Rp5,05 triliun (kurs Rp16.853 per dolar AS), menurut data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas).
“Ini menunjukkan bahwa Indonesia masih dilirik oleh investor global untuk sektor upstream migas,” kata Kepala Divisi Prospektivitas Migas dan Manajemen Data Wilayah Kerja SKK Migas, Asnidar, dalam Media Briefing menuju IPA Convex 2025 di Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Menurut Asnidar, selama dua tahun terakhir SKK Migas telah mencatat peningkatan signifikan dalam kegiatan joint study, yang merupakan mekanisme penawaran wilayah kerja migas antara pemerintah dan investor. Hasilnya, lima potensi cadangan migas baru telah diidentifikasi, antara lain di Lapangan Hidayah (Jawa Timur), Layaran (Laut Utara Aceh), Tangkulo (South Andaman), Timpan (Selat Malaka Aceh), dan Geng North (Kalimantan Timur).
Namun, di balik geliat investasi ini, potensi migas Indonesia dinilai belum tergarap maksimal. Dari 128 cekungan (basin) migas yang tersebar di seluruh Indonesia, lebih dari 50 persen atau sebanyak 65 basin masih belum tersentuh eksplorasi.
“Artinya lebih dari separuh potensi kita masih unexplored. Ini angka yang stagnan dalam satu dekade terakhir,” tegas Asnidar.
Dari total tersebut, baru 20 basin yang telah masuk tahap produksi, sementara 27 lainnya masih dalam status penemuan (discovery). Sisanya belum menunjukkan aktivitas berarti, mencerminkan stagnasi eksplorasi nasional di tengah kebutuhan energi yang terus meningkat.
Asnidar mengungkapkan harapan baru datang dari proyek Lapangan Abadi di Wilayah Kerja Masela. Jika berhasil onstream, proyek ini akan menambah satu lagi basin ke dalam daftar produksi nasional.
“Milestone Masela sangat ditunggu-tunggu pelaku industri migas. Ini bisa jadi momentum pembuka bagi eksplorasi lebih agresif di wilayah lain,” ujarnya.
Senada dengan itu, Koordinator Pengawasan Eksplorasi Migas dari Kementerian ESDM, Yulianto, menilai Indonesia masih menarik sebagai destinasi investasi migas, meski dihadapkan pada tantangan klasik seperti regulasi, kepastian hukum, dan daya saing fiskal dibanding negara lain.
“Minat investor terhadap joint study meningkat, mencapai 24 proyek. Tapi itu belum cukup. Perlu perbaikan menyeluruh, termasuk sinergi dengan pemerintah daerah,” ujar Yulianto.
Dari sisi pelaku industri, Senior Manager Exploration PETRONAS Indonesia, Ruszaidi B Kahar, mengakui Indonesia punya posisi strategis dan kekayaan sumber daya alam yang besar. Namun menurutnya, faktor seperti stabilitas nasional, kemudahan berusaha, serta kepastian kebijakan fiskal tetap jadi kunci keputusan investasi.
“Setiap perusahaan tentu berhitung sebelum masuk. Kalau ingin jadi destinasi utama investasi energi global, Indonesia harus bisa memonetisasi potensi yang ada,” katanya.
SKK Migas sendiri telah mengalokasikan anggaran eksplorasi sebesar US$300 juta untuk wilayah-wilayah terbuka (open area), termasuk daerah-daerah frontier seperti laut dalam dan wilayah dengan topografi menantang. Asnidar menekankan pentingnya pemberian insentif yang lebih agresif untuk mendorong eksplorasi di wilayah berisiko tinggi.
“Kalau momentum ini tidak kita tangkap, kita akan terus tertinggal dari negara-negara lain yang lebih cepat berbenah,” pungkasnya.