BISNISIA.ID | Jakarta – Center of Reform on Economics (Core) Eliza Mardian menilai pemerintah menunda mengantisipasi pelemahan ekonomi. Dia mengungkapkan lampu kuning pelemahan daya beli telah terasa sejak akhir tahun 2023.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), capaian inflasi sepanjang tahun 2023 sebesar 2,61 persen secara tahunan atau year on year (yoy), anjlok dibandingkan realisasi tahun 2022 yang mencapai 5,51 persen yoy.
Inflasi umum secara year to date (ytd) Januari hingga September 2023 tercatat sebesar 1,63 persen.
Inflasi umum capaian terus menurun ke level 0,74 persen secara ytd dari Januari hingga September 2024.
“Sebetulnya lampu kuning pelemahan daya beli ini sudah terasa sejak akhir 2023. Pemerintah telat mengantisipasi perlambatan ekonomi. Saat ini kondisinya sudah terpukul,” katanya kepada Media Indonesia , dikutip bisnisia.id, Sabtu, 5 Oktober 2024.
Eliza berpendapat kondisi deflasi beruntun yang dialami Indonesia selama lima bulan berturut-turut dari Mei-September 2024 lebih banyak disebabkan oleh gejolak harga-harga bahan pangan (volatile food).
Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) pertanian pada September 2024 mencapai 2,14 persen yoy, terus menurun sejak mencapai puncaknya pada momen Idul Fitri pada April 2024 lalu yang sempat menyentuh 9,10 persen yoy.
“Jadi, memang penyebab utama deflasi ini karena kenaikan harga pangan sangat tinggi di akhir tahun 2023 hingga awal tahun 2024,” jelas Eliza.
Selain itu, dia menegaskan dengan hampir 56 persen konsumsi kelas menengah dan menengah bawah itu digunakan untuk belanja bahan makanan, pada saat harga bahan pangan naik, tentu daya beli masyarakat kian tergerus. Ini karena kenaikan upah yang tidak sebanding.
“Akhirnya daya beli masyarakat terus melemah hingga saat ini dan diperparah dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menyebabkan daya beli masyarakat kian ditekankan,” pungkasnya.