Bisnisia.id | Banda Aceh – Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, menyoroti pentingnya transparansi dan tata kelola dalam pengelolaan sumber daya migas di Aceh.
Menurutnya, meski potensi migas Aceh telah lama dibicarakan sejak berakhirnya operasi Arun dan ExxonMobil, hingga kini masyarakat Aceh masih minim informasi terkait pendapatan dan kontribusi sektor ini terhadap pembangunan daerah.
“Setelah Arun dan ExxonMobil tutup, diskusi soal potensi migas sudah sangat lama berlangsung, baik oleh pengusaha, politisi, maupun birokrasi. Tapi yang dibutuhkan hari ini adalah kepastian, khususnya soal berapa pendapatan yang benar-benar diterima Aceh,” ujar Alfian dalam diskusi bertajuk ‘Potensi Migas di Era Energi Terbarukan: Bagaimana Aceh Beradaptasi?’ di Banda Aceh, Selasa (10/12/2024).
Ia menambahkan, transparansi adalah kunci untuk memastikan pengelolaan migas memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. “Publik harus tahu, dari sumber daya yang dikelola saat ini, berapa sebenarnya kontribusi finansial yang diterima Aceh? Apakah besar, kecil, atau bahkan tidak ada sama sekali? Ini penting dibuka secara jujur,” tegasnya.
Selain transparansi, Alfian menekankan perlunya perbaikan tata kelola, baik di tingkat perusahaan maupun birokrasi pemerintah.

Alfian juga mengkritik minimnya akses publik terhadap informasi dari Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) dan PT Pembangunan Aceh (PEMA), khususnya terkait perizinan dan laporan keuangan.
“Publik hampir tidak memiliki akses untuk mengetahui bagaimana izin-izin dikelola, atau bagaimana kontribusi PEMA kepada pemerintah Aceh. Bahkan, hal ini hanya terbuka saat ada momentum politik seperti Pemilu atau Pilkada. Ini tidak boleh terus terjadi,” katanya.
Alfian memperingatkan bahwa sektor migas adalah sektor yang rentan terhadap tindak pidana korupsi. Ia mencontohkan Aceh Utara, yang selama ini lebih merasakan dampak negatif dari pengelolaan sumber daya alam dibandingkan manfaatnya.
“Sumber daya alam bisa menjadi berkah, tetapi juga kutukan. Kita tidak mau Aceh menjadi seperti wilayah-wilayah konflik di Afrika atau Timur Tengah yang dipicu oleh ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya,” ungkapnya.
Alfian menekankan bahwa kepentingan masyarakat Aceh harus menjadi prioritas utama dalam pengelolaan migas. Ia mendesak pemerintah Aceh dan perusahaan migas untuk membuka data produksi dan pendapatan secara transparan.
“Publik berhak tahu, berapa nilai anggaran yang diterima Aceh dari sektor migas. Tanpa keterbukaan ini, sulit untuk memastikan bahwa migas benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat Aceh,” pungkasnya.