Bisnisia.id, Banda Aceh – Udara Banda Aceh masih terasa sejuk pagi itu ketika satu per satu mobil dinas mengisi halaman Kantor Gubernur Aceh, Selasa, 8 April 2025. Di balik pintu Meuligoe yang kokoh, Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, memimpin langsung rapat penting: Rapat Pimpinan dan Arahan Khusus bagi seluruh kepala SKPA.
Namun, ini bukan sekadar pertemuan rutin birokrasi. Nada suara Gubernur terdengar berbeda. Tegas, penuh pesan moral, dan mengandung satu hal yang kian langka di ruang kekuasaan: seruan untuk bersih dan berpihak kepada rakyat.
“Jangan terjerat hukum. Saya tak ingin SKPA dipanggil-panggil karena itu bisa menghambat kerja,” ujar Gubernur Muzakir dengan wajah serius. Ia menekankan pentingnya transparansi dalam pengadaan barang dan jasa, serta integritas pejabat publik yang mengelola anggaran rakyat.
Di hadapan Wakil Gubernur Fadhlullah, Plt Sekda Muhammad Nasir, dan seluruh pejabat eselon, Muzakir juga menyuarakan keprihatinannya atas dominasi perusahaan luar dalam penguasaan lahan sawit di Aceh. Ia meminta evaluasi ulang izin Hak Guna Usaha (HGU) yang dianggap melampaui batas, dan mendesak penindakan terhadap pelanggaran tata kelola lahan.
Tak hanya soal tanah, Gubernur juga menyentil tambang emas ilegal yang menjamur. Ia membuka wacana Qanun Pertambangan Rakyat—aturan lokal yang memungkinkan tambang rakyat beroperasi secara legal melalui koperasi dan berkontribusi pada pendapatan daerah.
“Kalau diatur baik, tambang rakyat bisa jadi sumber PAD. Jangan sampai kekayaan kita malah jadi masalah hukum,” ucapnya.
Ia juga tak lupa menyinggung proyek strategis seperti Bendungan Krueng Keuruto. Proyek yang telah dilaporkan ke Presiden itu harus segera dilanjutkan, meski berarti penertiban terhadap bangunan warga yang berdiri di atas sawah produktif.
Sementara itu, Wakil Gubernur Fadhlullah, yang tampak tenang namun lugas, menyoroti hal berbeda: pelaksanaan ibadah haji. Ia meminta agar 36 Tim Pendamping Haji Daerah (TPHD) ditunjuk langsung oleh Pemerintah Aceh, bukan melalui proses lobi-lobi. Namun di balik urusan kuota haji, ada hal yang lebih prinsipil ia suarakan: masa depan Dana Otonomi Khusus.
“UUPA perlu direvisi. Dana Otsus harus berlanjut. Ini bukan demi pemerintah, tapi demi rakyat Aceh,” katanya. Ia menekankan pentingnya kekompakan seluruh jajaran dalam menyuarakan aspirasi Aceh ke pemerintah pusat.
“Rakyat sudah beri mandat pada kita. Jangan ada yang jalan sendiri. Kita ini satu kapal,” tambahnya, mengingatkan seluruh SKPA untuk menyelaraskan program mereka dengan visi dan misi kepemimpinan saat ini.

Dalam sesi penutup, Plt Sekda Muhammad Nasir melaporkan realisasi anggaran triwulan pertama 2025 yang telah melampaui target. Namun ia mengingatkan bahwa sisa waktu hanya sembilan bulan. “Kita harus jaga momentum. Pastikan perubahan APBA benar-benar mendukung program prioritas pimpinan,” pesannya.
Dari ruang rapat itu, tak ada janji muluk. Hanya seruan yang sederhana tapi mendasar: bersih, transparan, dan pro-rakyat. Seruan yang barangkali terdengar biasa di atas kertas, tapi jadi istimewa jika benar-benar diwujudkan di lapangan.
Dan pagi itu, di Meuligoe Aceh, komitmen itu kembali digaungkan—dengan harapan tak sekadar jadi kata-kata.