Bisnisia.id | Banda Aceh – Kebiasaan merokok di kalangan pemuda Aceh tidak hanya menjadi tantangan kesehatan, tetapi juga berdampak signifikan terhadap kondisi finansial mereka. Dua pemuda, Nabil Ananda (22) asal Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, dan Rizki (22) dari Kota Langsa, berbagi cerita tentang bagaimana rokok menjadi pengeluaran terbesar mereka, melebihi alokasi untuk pengembangan diri atau kebutuhan produktif lainnya.
Nabil, yang bekerja di sebuah angkringan dengan penghasilan Rp1,5 juta per bulan, menghabiskan sekitar Rp25 ribu per hari atau Rp750 ribu per bulan untuk membeli rokok. Jumlah ini hampir setengah dari total pendapatannya.
“Untuk soft skill? Paling cuma Rp150 ribu per bulan, itu juga buat beli paket data belajar,” ungkap Nabil.
Rizki, yang berjualan kentang goreng dengan penghasilan Rp1,3 juta per bulan, memiliki cerita serupa. Dia menghabiskan sekitar Rp50 ribu per hari untuk dua bungkus rokok, setara dengan Rp1,5 juta per bulan—bahkan lebih besar dari pendapatannya sendiri.
“Kalau buat belajar, saya cuma pakai YouTube dan TikTok gratisan. Pengeluaran buat rokok jelas lebih besar,” ujar Rizki.
Meskipun menyadari pentingnya menjaga kesehatan, kedua pemuda ini hanya mampu mengalokasikan sedikit uang untuk olahraga. Nabil mengeluarkan Rp200 ribu per bulan untuk berolahraga secara rutin. Sementara Rizki, dengan keterbatasan finansial, hanya menyisihkan Rp50 ribu hingga Rp100 ribu untuk jogging dan membeli makanan ringan setelahnya.
“Olahraga memang penting, tapi rokok sekarang seperti kebutuhan primer,” kata Rizki.
Nabil mengaku kebiasaan merokoknya dimulai sejak awal perkuliahan, didorong oleh keinginannya sendiri. Berbeda dengan Rizki, yang sudah mulai merokok sejak kelas 5 SD karena pengaruh lingkungan.
“Dulu awalnya biar keren aja, sekarang malah jadi kebiasaan yang susah dihentikan,” jelas Rizki.
Cerita Nabil dan Rizki menjadi potret nyata dampak rokok dalam menggerus potensi finansial generasi muda. Pengeluaran besar untuk rokok membatasi kemampuan mereka untuk berinvestasi pada pengembangan diri dan menjalani hidup sehat.
“Saya sadar, kalau pengeluaran buat rokok ini dikurangi, hidup pasti lebih baik. Tapi pelan-pelan saja,” ujar Nabil.
Rizki pun sependapat. “Mungkin suatu saat bisa berhenti. Sekarang saya coba alihkan dengan belajar hal-hal baru,” tutupnya.
Konsumsi warga Aceh terhadap rokok cukup tinggi. Bahkan rokok menjadi komoditas pemicu inflasi artinya kebutuhan rokok dengan makanan sudah setara.
Ketua Tim Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Abd Hakim, menjelaskan bahwa kebiasaan merokok ini bukan hanya persoalan gaya hidup, tetapi juga memberikan kontribusi besar terhadap ketimpangan ekonomi di provinsi tersebut.
“Rata-rata orang dewasa di Aceh menghabiskan sekitar 91 batang rokok per minggu, atau setara dengan 13 batang per hari,” ungkap Hakim. Dengan harga rata-rata Rp2.000 per batang, seorang perokok mengeluarkan sekitar Rp26.000 per hari untuk rokok.
“Angka tersebut setara dengan satu porsi makanan bergizi lengkap yang terdiri atas ikan dan sayur. Namun, masyarakat tetap lebih memilih rokok, bahkan dalam kondisi ekonomi yang sulit,” tambahnya.
Fenomena ini mencerminkan pola pengeluaran masyarakat yang cenderung mendahulukan kebutuhan non-esensial dibandingkan kebutuhan dasar, yang dapat memperburuk kondisi kemiskinan dan kesehatan masyarakat Aceh.