Bisnisia.id | Banda Aceh – Angka kekerasan terhadap perempuan di Aceh, terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), menunjukkan peningkatan yang signifikan pada tahun 2024. Berdasarkan data yang diterima, sebanyak 1.227 kasus kekerasan terhadap perempuan tercatat, lebih tinggi dibandingkan dengan 1.098 kasus yang dilaporkan pada tahun 2023. Plt Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak DP3A Aceh, Tiara Sutari, menjelaskan bahwa meskipun angka tersebut terlihat mengkhawatirkan, ada dua sisi mata uang yang perlu dilihat.
“Di satu sisi, angka kekerasan memang tinggi, tetapi di sisi lain, ini menunjukkan bahwa masyarakat kini lebih berani melapor. Mereka sudah mengetahui hak-haknya dan merasa aman untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya,” ujarnya dalam wawancara eksklusif.
Menurut Tiara, kekerasan terhadap perempuan, terutama dalam rumah tangga, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang rendah, tetapi juga oleh budaya patriarki yang masih kental di masyarakat.
“Di Aceh, relasi kuasa yang timpang antara suami dan istri, di mana istri tidak berani melawan suami meskipun mengalami kekerasan, menjadi salah satu penyebab utama. Meskipun agama kita mengajarkan bahwa kekerasan tidak dibenarkan, dan kita diperbolehkan untuk melawan dengan cara yang baik, namun kebanyakan perempuan merasa terperangkap dalam norma sosial dan budaya yang membatasi,” jelasnya.

Dia menambahkan bahwa relasi kuasa juga memengaruhi hubungan dalam rumah tangga dan keluarga.
“Anak-anak sering menjadi korban bullying verbal dari orang tua, yang tanpa disadari melukai psikologis mereka. Orang tua kadang berpikir itu untuk memotivasi, tetapi justru membuat anak semakin kehilangan rasa percaya diri,” katanya.
Tiara menambahkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga memiliki banyak bentuk, yakni fisik, psikis, seksual, dan penelantaran.
“Sering kali, korban tidak hanya mengalami kekerasan fisik, tetapi juga psikis yang lebih dalam. Kalimat-kalimat merendahkan, penghinaan, bahkan penelantaran menjadi bagian dari siklus kekerasan yang dialami,” ungkapnya.
Penyebab kekerasan ini juga tidak bisa disamaratakan. Tiara menyebutkan beberapa faktor pemicu lainnya, seperti ketimpangan pendidikan antar pasangan, kurangnya pemahaman terhadap pendidikan agama, bahkan campur tangan pihak ketiga.
Salah satu faktor penting dalam peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan adalah budaya patriarki yang membuat korban merasa terjebak.
“Perempuan merasa tidak berdaya karena norma yang mengajarkan mereka untuk tunduk pada suami. Relasi kuasa yang timpang ini menyebabkan banyak korban tidak berani melawan, bahkan ketika mereka sudah sering kali dipukul, dicaci, atau diabaikan,” lanjut Tiara.
Namun, Tiara juga menekankan pentingnya pemberian edukasi dan pemulihan bagi korban kekerasan.
“Proses pemulihan psikologis sangat penting untuk menghentikan siklus kekerasan. Jika seorang ibu yang menjadi korban kekerasan tidak pulih, maka anak-anaknya berisiko menjadi korban berikutnya,” tegasnya.
Tiara juga menjelaskan bagaimana alur pelaporan kasus kekerasan yang telah ditingkatkan kualitas pelayanannya. Korban bisa melapor langsung ke kantor DP3A Aceh atau melalui hotline yang disediakan, seperti Sapa 129, yang akan menghubungkan mereka dengan agen Sapa di tingkat provinsi atau kabupaten. Setelah laporan diterima, tim dari DP3A Aceh akan melakukan penjangkauan dan memberikan edukasi kepada korban tentang hak-haknya, serta memberikan dukungan psikologis yang diperlukan.

“Kami bekerja untuk memutus mata rantai kekerasan. Jika korban siap untuk melanjutkan proses hukum, kami akan mendampingi mereka dengan bantuan hukum. Namun, jika korban memilih untuk tidak melanjutkan proses hukum, kami akan mencoba menyelesaikan masalah melalui mediasi, yang melibatkan keluarga dari kedua belah pihak,” jelas Tiara.
Tiap kasus yang diterima ditangani dengan sangat hati-hati dan penuh empati, dengan tujuan utama untuk membantu korban merasa aman dan mendapatkan keadilan. Proses pemulihan ini dilakukan dengan melibatkan psikolog dan mediator, yang semuanya disediakan tanpa biaya bagi masyarakat.
Bagi Tiara, meskipun angka kekerasan terhadap perempuan di Aceh semakin meningkat, ini menandakan bahwa masyarakat mulai sadar dan berani untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami.
“Masyarakat tidak perlu khawatir akan biaya untuk layanan psikologis, karena semua layanan ini diberikan secara gratis. Kami ingin membantu memulihkan korban dan memastikan mereka tidak hanya bebas dari kekerasan, tetapi juga bisa hidup dengan martabat dan kebahagiaan,” tutup Tiara Sutari.