Bisnisia.id, Banda Aceh – Di sebuah aula hotel di jantung Kota Banda Aceh, lampu-lampu menggantung tenang di langit-langit, sementara puluhan wajah serius menatap ke panggung utama. Malam itu, Selasa 15 April 2025, suasana tampak lebih dari sekadar pertemuan formal. Di sinilah, Badan Reintegrasi Aceh (BRA) kembali duduk bersama satuan pelaksana dan penghubung dari seluruh kabupaten/kota—bermaksud memperkuat tekad yang sama: menjaga perdamaian dan memulihkan luka.
Plt Sekretaris Daerah Aceh, M. Nasir, berdiri di depan podium mewakili Gubernur. Dalam pidato yang dibacakannya, ia menekankan bahwa BRA bukan sekadar lembaga administratif. BRA adalah anak kandung dari MoU Helsinki—titik balik sejarah panjang konflik Aceh. Ia lahir untuk mendengar jerit sunyi para korban, dan menjadi sandaran para mantan kombatan yang kini tengah berjuang menata hidup.
“Kita punya tanggung jawab menjaga perdamaian Aceh. Tantangan kita nyata: kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Di sinilah BRA harus hadir—bukan sebagai simbol, tapi sebagai solusi,” tegas M. Nasir, dengan nada yang tenang namun menggugah.
Lebih dari Sekadar Rapat
Bagi sebagian peserta, rakor ini bukan sekadar agenda tahunan. Ini adalah ruang perjumpaan antara mimpi dan kenyataan. “BRA harus membangun kepercayaan sosial,” lanjut Nasir. Ia menyebut tugas BRA sebagai ‘tugas kebangsaan’: menyatukan kembali masyarakat yang pernah terpecah dan memberi ruang hidup yang adil bagi para penyintas konflik.
Dalam suasana rapat yang terbuka, Nasir juga menyoroti pentingnya pemahaman batas kewenangan di semua tingkatan—agar tidak terjadi tumpang tindih dalam implementasi kebijakan. Ia menekankan pentingnya integritas, profesionalisme, dan konsistensi dalam melayani publik.
“Gunakan forum ini untuk saling menguatkan dan membangun komunikasi terbuka. Kita tidak hanya bicara administrasi, tapi bicara keadilan,” tambahnya.
Rencana dan Realita di Lapangan
Rakor yang digelar malam itu, menurut M. Nasir, adalah momentum penting untuk menyusun program yang benar-benar dibutuhkan masyarakat bawah. “Kita harus tahu apa yang dibutuhkan para eks kombatan, dan apa yang dibutuhkan korban konflik. Program harus partisipatif, lahir dari suara akar rumput,” ujarnya kepada awak media setelah membuka kegiatan.
Ia juga menitip pesan khusus kepada para Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) yang telah memiliki lahan pertanian. “Segera usulkan perencanaan kepada Ketua BRA, agar proses land clearing bisa segera dijalankan,” katanya, menandakan bahwa pembangunan ekonomi para eks kombatan tidak boleh lagi menunggu waktu.
Wajah-Wajah di Balik Upaya Damai
Rapat koordinasi ini turut dihadiri oleh Ketua BRA Jamaluddin, Plt Kepala Sekretariat BRA Zulkifli, anggota DPRA Ilmiza Sa’aduddin Djamal, serta Kepala Biro Administrasi Pimpinan Setda Aceh, Akkar Arafat. Mereka hadir bukan sekadar sebagai tamu, tetapi sebagai saksi hidup dari fase baru perjalanan panjang Aceh pascakonflik.
Dalam rapat itu, BRA diingatkan akan akar sejarahnya—bukan lahir dari ruang kosong, tapi dari perjanjian damai yang dibayar mahal oleh darah dan kehilangan. Kini, tugas mereka bukan lagi menegosiasikan senjata, tapi menjahit kembali kehidupan yang pernah terkoyak.