Bisnisia.id | Banda Aceh – Dalam rangka memperingati 20 tahun tragedi tsunami Aceh 2004, Muhsin Syihab, Staf Ahli Bidang Hubungan Antarlembaga Kementerian Luar Negeri RI, menegaskan pentingnya diplomasi kemanusiaan Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari politik luar negeri.
Dalam seminar Aceh International Forum, Senin (23/12/2024), Muhsin membahas peran strategis Indonesia dalam berbagai isu global, termasuk multipolarisme, konflik berbasis agama, dan diplomasi kemanusiaan.
Muhsin menjelaskan dinamika global saat ini yang ditandai oleh multipolarisme dan meningkatnya peran negara-negara middle power seperti Indonesia, Brasil, dan India.
“Kita tidak lagi hidup dalam era Perang Dingin dengan dua blok besar. Saat ini, negara-negara middle power memainkan peran strategis dalam membentuk arsitektur geopolitik global,” ujarnya.
Ia menyoroti bagaimana Indonesia menjadi bagian dari berbagai forum internasional seperti BRICS dan memiliki posisi penting dalam membangun tatanan dunia yang lebih inklusif. Namun, di sisi lain, ancaman nontradisional seperti perubahan iklim, pengungsi, dan pandemi menjadi tantangan yang harus dihadapi secara kolektif oleh semua negara.
Muhsin juga menyoroti pentingnya dialog lintas agama yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat, mulai dari tingkat elit hingga komunitas akar rumput. Dalam hal ini, Kementerian Luar Negeri telah bekerja sama dengan lebih dari 34 negara untuk mempromosikan pemahaman bersama.

“Pendidikan toleransi harus dimulai sejak dini, termasuk di pondok pesantren dan pendidikan dasar, untuk menciptakan kehidupan yang harmonis antara umat manusia,” lanjutnya.
Muhsin juga membahas prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif serta memprioritaskan diplomasi ketahanan nasional, ekonomi Pancasila, dan perlindungan diaspora Indonesia. Di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, diplomasi Indonesia tetap konsisten dengan amanat konstitusi.
“Kita memilih jalan nonblok dan ingin bertetangga dengan baik, selama prinsip hukum internasional dan hukum kemanusiaan dihormati,” jelasnya.
Indonesia telah memainkan peran penting dalam berbagai forum internasional, termasuk Organisation of Islamic Cooperation (OIC) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Muhsin menjelaskan berbagai inisiatif Indonesia, seperti penyelenggaraan Contact Group on Peace and Dialogue serta peringatan Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia.
“Kita juga mendorong resolusi PBB seperti World Interfaith Harmony Week yang diadopsi setiap minggu pertama Februari. Resolusi ini bertujuan menciptakan harmoni dan toleransi di tingkat global,” tambahnya.
Diplomasi kemanusiaan menjadi salah satu pilar utama politik luar negeri Indonesia. Meskipun Indonesia bukan pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951, negara ini memiliki sejarah panjang dalam memberikan perlindungan bagi para pengungsi.
“Kita sering menampung pengungsi, termasuk pengungsi Rohingya di Aceh. Ini menunjukkan komitmen kita terhadap prinsip kemanusiaan,” ujar Muhsin.
Ia juga menekankan pentingnya kerja sama dengan negara-negara lain untuk memastikan hak-hak pengungsi terpenuhi dan mendorong solusi yang berkelanjutan.

Menutup diskusinya, Muhsin menggarisbawahi bahwa Aceh adalah contoh nyata bagaimana prinsip-prinsip kemanusiaan dapat membangun kembali sebuah daerah yang hancur akibat bencana.
“Prinsip kemanusiaan yang dikembangkan oleh semua pihak, dari pemerintah hingga masyarakat, telah membuat Aceh tumbuh kembali dan menjadi simbol ketangguhan,” katanya.
Ia mengajak semua pihak untuk terus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, tidak hanya untuk Aceh tetapi juga untuk dunia.
“Diplomasi kemanusiaan adalah jembatan menuju harmoni global, dan Indonesia siap memimpin upaya ini,” tutup Muhsin.
Diskusi ini menjadi pengingat bahwa diplomasi kemanusiaan bukan hanya soal bantuan langsung, tetapi juga tentang membangun dialog, menciptakan toleransi, dan menghadirkan solusi untuk tantangan global.