Bisnisia.id | Banda Aceh – Festival Pemenuhan Hak dan Perlindungan Perempuan dan Anak yang digelar di Car Free Day Banda Aceh, Minggu (1/12/2024), menjadi momentum penting dalam upaya mewujudkan Aceh yang lebih inklusif dan berkeadilan. Acara yang dihadiri lebih dari 500 peserta ini mencapai puncaknya dengan pembacaan dan penandatanganan Deklarasi Bersama yang menegaskan komitmen berbagai pihak untuk melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan dan anak di Aceh.
Deklarasi ini diinisiasi oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk Lembaga Wali Nanggroe, pemerintah, aparat penegak hukum, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi, dan media, yang bersama-sama berkomitmen untuk menciptakan perubahan signifikan bagi kesejahteraan perempuan dan anak. Tema acara “Perempuan Berdaya, Anak Terlindungi, Aceh Mulia” juga bertepatan dengan peringatan Hari Ibu dan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP).
Deklarasi Bersama ini mencakup empat poin utama yang menjadi acuan bagi seluruh pemangku kepentingan di Aceh untuk bergerak bersama dalam mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan setara. Keempat poin tersebut adalah:
Menjamin kesetaraan gender dalam berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, dan politik.
Melindungi perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, dan perkawinan di bawah usia 19 tahun.
Memastikan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan gizi berkualitas yang inklusif.
Memberikan ruang partisipasi yang berarti bagi perempuan dan anak dalam proses pengambilan keputusan serta perencanaan pembangunan di Aceh.
Rizky Mohamad, National Program Coordinator Islamic Relief Indonesia (IRI), yang turut hadir dalam acara ini, menegaskan pentingnya upaya kolektif dalam memenuhi hak-hak perempuan dan anak. “Sejak 2004, Aceh merupakan salah satu wilayah kerja IRI, dimulai dengan program tanggap bencana pasca-gempa dan tsunami. Festival ini adalah bagian dari strategi kami dalam memperkuat kapasitas serta kesadaran publik melalui proyek Empower yang melibatkan berbagai pihak strategis di Aceh,” ujar Rizky.
Menurut Riswati, Direktur Flower Aceh, Festival ini menunjukkan komitmen kolaboratif multipihak dalam merespon tantangan yang dihadapi perempuan dan anak di Aceh, termasuk kasus kekerasan dan perkawinan anak. Data menunjukkan peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang tercatat sebanyak 924 kasus pada 2021, meningkat menjadi 1.029 kasus pada 2022, dan 1.036 kasus pada 2023.
“Angka-angka ini menggambarkan bahwa upaya pencegahan kekerasan masih sangat dibutuhkan dan harus dilakukan secara menyeluruh, dengan kebijakan yang mencakup langkah pencegahan sejak dini,” jelas Riswati.
Festival ini juga mengedepankan pendekatan budaya dan kearifan lokal sebagai cara untuk mengedukasi masyarakat. Dalam acara tersebut, peserta dapat menikmati berbagai aktivitas, mulai dari hiburan musik oleh Rafly Kande, ekspresi seni dan budaya anak-anak, pentas tari Ranub Lampuan, hingga permainan tradisional yang diperkenalkan oleh Forum Anak Tanah Rencong (FATAR).
Selain itu, festival ini juga menyediakan booth-booth informasi dan layanan terkait hak-hak perempuan dan anak, yang diinisiasi oleh berbagai lembaga dan instansi yang terlibat.
Rafly Kande, dalam penampilannya, mengingatkan bahwa budaya Aceh dan ajaran agama seharusnya menempatkan perempuan dan anak pada posisi yang terhormat. “Kekerasan terhadap perempuan dan anak bertentangan dengan nilai-nilai budaya Aceh. Kita harus bersama-sama memastikan hak-hak mereka terpenuhi dan dihargai,” ujar Rafly.
Acara ini juga menjadi ruang dialogis yang penting bagi pengambil kebijakan dan kelompok perempuan serta anak di Aceh. Setelah pembacaan suara anak oleh Cintia dan Rameyza Alya dari Forum Anak Tanah Rencong (FATAR), dilanjutkan dengan pembacaan rekomendasi kelompok perempuan yang disampaikan oleh Zahruna (Forum Perempuan Akar Rumput – FKPAR) dan Junaida Aulia (Forum Perempuan Muda – FPM) Aceh. Proses dialog ini difasilitasi oleh Kabid Pemenuhan Hak Anak DPPPA Aceh, Amrina Habibi.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Meutia Juliana, menegaskan pentingnya tindak lanjut atas rekomendasi yang dihasilkan selama festival.
“Pemenuhan hak dan perlindungan perempuan dan anak memerlukan komitmen dan kerjasama semua pihak, bukan hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat dan sektor swasta. Kolaborasi yang sinergis akan memastikan Aceh menjadi tempat yang aman dan inklusif bagi perempuan dan anak,” kata Meutia.
Hal serupa disampaikan oleh Ainul Mardiyah, Sekretaris Tuha 8 Lembaga Wali Nanggroe. Ia menekankan pentingnya sinergi antara lembaga adat dan pemerintah dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan perempuan dan anak. “Lembaga Wali Nanggroe berkomitmen untuk melestarikan adat istiadat dan nilai-nilai budaya Aceh, yang salah satunya adalah dengan melindungi perempuan dan anak,” ujarnya.
Festival ini menjadi simbol penting dari komitmen bersama untuk mendorong terciptanya Aceh yang lebih aman, sejahtera, dan inklusif. Dengan dukungan seluruh elemen masyarakat, langkah-langkah konkret dalam perlindungan perempuan dan anak akan terus diupayakan demi mewujudkan Aceh yang lebih baik dan lebih berdaya.